30 December 2022, 10:55 WIB

DPW NasDem : Kinerja Pemprov Aceh di 2022 Tidak Ada Pertumbuhan Ekonomi


Amiruddin A.R | Nusantara

MI/Amiruddin A.R
 MI/Amiruddin A.R
Ketua DPW NasDem Aceh, Teuku Taufiqulhadi. 

Tahun 2022 adalah tahun yang penuh tantangan bagi masyarakat Aceh. Setelah 2 tahun lebih masyarakat mengalami dampak negatif dari pandemi covid-19. Tahun 2023, seharusnya menjadi titik balik bagi pemerintah dan masyarakat Aceh. Terutama untuk melakukan pemulihan ekonomi, perbaikan bidang sosial yang terdampak akibat wabah Covid-19 melanda seluruh nusantara.

Demikian antara lain dikatakan Ketua DPW NasDem Aceh, Teuku Taufiqulhadi, kepada Media Indonesia, kemarin, di Banda Aceh.

Dikatakannya, pada tahun 2022 ini juga telah terjadi transisi kepemimpinan pemerintahan Aceh melalui penunjukan Pj Gubernur Ahmad Marzuki, pada tanggal 6 Juli 2022 oleh Pemerintah Pusat. Tentu untuk meneruskan kepemimpinan Pemerintahan Daerah yang telah berakhir periodesasinya.

Ketika pelantikan Pj Gubernur Ahmad Marzuki, diantara amanat Mendagri Tito Karnavian adalah untuk pemulihan ekonomi pasca pandemi, dengan cara percepatan realisasi belanja yang efektif, efisien dan tepat sasaran. Lalu menghidupkan UMKM diantaranya dengan penggunaan produksi dalam negeri dan mengurangi angka kemiskinan.

"Dengan demikian, kata Taufiqulhadi, NasDem Aceh memandang perlu untuk membuat catatan penting sebagai refleksi akhir tahun sebagai bentuk tanggung jawab dan fungsi politik guna mencapai perbaikan bagi kita semua terutama masyarakat di provinsi paling ujung barat Indonesia itu" jelas Taufiqulhadi.

Pertama; peran Pemerintah Aceh Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Aceh. Tidak ada pertumbuhan ekonomi di Aceh merupakan suatu fakta yang memprihatinkan.

Ketua DPW NasDem Aceh, kelahiran Krueng Seumideun, Kabupaten Pidie ini menjelaskan, sesuai data Bank Indonesia yang dirilis pada triwulan III 2022 menunjukkan bahwa pertumbuhan PDRB Aceh mengalami penurunan yang signifikan dari triwulan II dari 4,36% turun menjadi 2,13% pada triwulan III 2022. Kondisi tersebut jauh dibawah rata-rata Nasional sebesar 5,72 %.

Sementara itu realisasi APBA TA 2022 (per 27 Desember 2022) sebesar 87,8% dari total Rp16,7 Trilyun dengan target realisasi (per 31 Desember 2022) sebesar 95%. Padahal ini merupakan daya serap anggaran paling tinggi dalam kurun 4 tahun terakhir.

Dua hal pokok yang bertolak belakang atas realitas perekonomian Aceh, di satu sisi kinerja pengelolaan keuangan Pemerintah Aceh sangat positif (sisi serapan), sedangkan pertumbuhan perekonomian Aceh menurun. Akibatnya Aceh tetap menjadi Provinsi termiskin di Sumatera.

Menurut Taufiqulhadi, focus implimentasi anggaran haruslah juga pada serapan lapangan kerja di Aceh, sehingga secara pasti dapat mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan.

Anggaran Aceh (terutama sumber anggaran dari dana Otsus) yang merupakan sumber anggaran berjangka dan akan habis pada masanya. Sayangnya selama ini terkesan hanya untuk belanja birokrasi dan kegiatan asal habis. Harusnya bergeser pada pertumbuhan industry kecil menengah yang nantinya akan menjadi sumber pendapatan Aceh, terutama setelah Dana Otsus berakhir.

Kritik Mendagri Tito Karnavian pada rapat koordinasi para Kepala Daerah di Aceh tanggal 22 Desember 2022 harus menjadi perhatian serius bagi Pj Gubernur Aceh. Apalagi dalam hal pengelolaan dan kebijakan anggaran Pemerintah Aceh. Sehingga pelaksanaan APBA mampu menekan angka kemiskinan serta meningkatkan pertumbuhan perekonomian masyarakat.

Pj Gubernur sebaiknya focus untuk pemetaan problem-problem mendasar. Terutama di bidang ekonomi serta meningkatkan efektifitas pengendalian birokrasi Pemerintah Aceh.

Lalu memastikan bahwa serapan anggaran APBA dapat memberikan multiplier effect dan tepat sasaran jauh lebih penting dari pada upaya untuk menggaet investasi. Padahal kondisi perekonomian masyarakat masih buruk dan tata kelola anggaran dan pemerintahan belum berjalan dengan baik.

Kedua; Peran Pemerintah Aceh Terhadap Proses Demokratisasi.
Salah satu tugas penting sejak pelantikan Pj Gubernur Aceh yaitu menciptakan stabilitas politik sehat dan kondusif. Iklim politik yang demokratis merupakan fondasi utama bagi terselenggaranya pemerintahan yang baik.

Apalagi dalam waktu dekat kita sudah memasuki tahapan penyelenggaraan Pileg dan Pilpres. Pj Gubernur sebagai pembina semua elemen politik (parpol, kandidat kepala daerah, maupun kandidat presiden) harus mampu membangun komunikasi dan relasi yang setara dengan semua elemen, yakni tanpa ada diskriminasi.

Oleh karena demikian, Pj Gubernur Aceh harus senantiasa melakukan langkah antisipasi terhadap setiap adanya potensi atas tindakan diskriminatif atau terganggunya stabilitas keamanan di bumi berjuluk Serambi Mekkah ini. (OL-13)

Baca Juga: Sri Sultan akan Kembalikan Fungsi Tanah Kas Desa


 

 

BERITA TERKAIT