FORUM Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) mengajukan
uji materi atas Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 161/2022 tentang
Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat.
Pasalnya beleid itu mengancam keberlangsungan industri hasil tembakau
(IHT) lantaran sejumlah pasal saling bertentangan dan dianggap
merugikan.
"Beberapa pasal yang merugikan dan membingungkan itu seperti keharusan
pemberian cukai bagi tembakau iris (TIS)," tegas Ketua Harian Formasi
Heri Susianto, Jumat (9/12).
Padahal putusan Mahkamah Agung dalam sidang uji materi PMK No.
94/PMK04/2016 memutuskan ketentuan pengenaan cukai pada tembakau iris
yang dikirim ke pabrik tidak memiliki kekuatan hukum dan bertentangan
dengan peraturan perundangan lebih tinggi. Atas putusan MA itu lalu
pemerintah menerbitkan PMK No.134/PMK 04/2019 perubahan atas PMK No. 94/PMK04/2016 dengan menghapus Pasal 2 ayat 3 huruf f.
"Ketentuan mengenai TIS sudah digugurkan oleh MA dalam gugatan Formasi
beberapa tahun yang lalu," ungkapnya.
Namun, ketentuan yang sudah digugurkan oleh MA itu muncul lagi dalam PMK 161 tahun 2022. Bahkan, pemerintah sudah menerbitkan Perdirjen Bea dan Cukai No. 12/2022 yang menjabarkan PMK memperkuat ketentuan terkait TIS.
"Ini jelas ketentuan selundupan karena sebelumnya telah dibatalkan oleh
MA," tandasnya.
Heri menilai fakta itu menunjukkan kegamangan dalam membina IHT.
Imbasnya tentu PMK maupun Perdirjen akan membingungkan pelaku IHT
sebagai sasaran regulasi.
"Kenyataan ini mengindikasikan arah pembinaan IHT ke depan tidak jelas.
Mestinya, peraturan-peraturan yang terbit terkait pengaturan IHT
memudahkan regulator maupun pelaku IHT sehingga industri ini bisa
kondusif," katanya.
Keadaan kondusif yang diinginkan itu ialah terjaminnya perlindungan masyarakat sejalan dengan upaya menjaga penerimaan negara. Di sisi lain, kelangsungan usaha IHT bisa tetap berjalan.
"Formasi melakukan uji materi terhadap PMK 161 tahun 2022 sebagai upaya
agar peraturan yang telah terbit itu kembali ke arah yang benar dan
kondusif bagi berbagai pemangku kepentingan," ucapnya.
Sementara itu Peneliti Senior Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Joko Budi Santoso
menyatakan tumpang tindih kebijakan serta peraturan di sektor IHT karena imbas dari kelambanan dan kegamangan pemerintah dalam menentukan peta jalan IHT yang mampu memberikan keadilan dan kesinambungan. Tidak adanya peta jalan juga semakin meningkatkan ketidakpastian bagi pelaku IHT di dalam melakukan penyesuaian rencana bisnis perusahaan ke depan.
"Tentu dengan pengajuan uji materi tersebut dapat lebih menggugah
pemerintah untuk lebih komprehensif di dalam mengambil kebijakan, tidak
hanya mendasarkan pada sisi kesehatan saja maupun interes grup
tertentu," ujarnya. (N-2)