06 November 2022, 09:15 WIB

Organisasi Profesi Kesehatan di NTB Tolak RUU Kesehatan (Omnibus Law)


Meilani Teniwut | Nusantara

MI/HO
 MI/HO
Para pimpinan organisasi profesi kesehatan di NTB kala menyatakan sikap mereka terkait RUU Kesehatan

PENOLAKAN terhadap RUU Kesehatan (Omnibus Law) terus berdatangan dari berbagai wilayah di Indonesia. Akhir pekan ini, tepatnya Sabtu (11/5), Wilayah Indonesia Timur, yang dimulai dari Nusa Tenggara Barat (NTB), menyatakan penolakan terhadap penghapusan UU Profesi dalam RUU Kesehatan. 

Dalam jumpa pers tersebut, lima organisasi profesi medis dan Kesehatan Wilayah NTB yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) menyampaikan ada banyak kondisi kesehatan di NTB yang umumnya dialami oleh wilayah Indonesia timur yang lebih membutuhan perhatian segera oleh pemerintah pusat ketimbang RUU Kesehatan. 

Selama puluhan tahun, koordinasi antara organisasi profesi dan pemerintah kesehatan setempat berjalan sangat harmonis dan saling bersinergi untuk mengatasi minimnya perhatian pemerintah pusat terhadap kondisi tersebut.

Baca juga: Lima OP Kesehatan di Kudus Menolak RUU Kesehatan Omnibus Law, Ini Alasannya

“Kami mendukung perbaikan sistem kesehatan yang terdapat dalam RUU tersebut, terutama dalam hal pemerataan dokter spesialis untuk daerah-daerah. Saat ini hanya sekitar 14% dokter yang dapat diserap pemerintah. Namun, sayangnya, sektor kesehatan swasta belum dikembangkan sepenuhnya. Meski demikian, kewenangan UU profesi tidak bisa dihilangkan, karena hal ini sudah berjalan dengan baik dan tertib. Penghilangan UU Profesi ini tidak hanya berpotensi negatif pada organisasi profesi, namun terutama pada masyarakat, karena dalam hal ini masyarakatlah yang pada akhirnya merasakan efek terbesar dari penghapusan UU tersebut,” tegas Ketua IDI NTB Rohadi.
 
Kelima organisasi profesi kesehatan tersebut sepakat kebijakan kesehatan harus mengedepankan jaminan hak kesehatan terhadap masyarakat. Dalam menjamin praktik dari tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya, harus dipastikan kompetensi dan kewenangannya agar keselamatan pasien dapat tetap dijaga. 
 
Ketua PDGI NTB Bagio Ariyogo Murdjani kemudian menjelaskan mengapa UU Profesi tidak boleh dihilangkan dan harus diatur dan dilindungi oleh undang-undang tersendiri. Hal itu karena profesi dokter, dokter gigi, perawat, apoteker, bidan ini menyangkut hak pasien; banyak risiko; berkaitan dengan penerapan teknologi; dan menyangkut kepastian hukum, keadilan, dan keselamatan pasien.
 
UU di bidang kesehatan yang ada saat ini boleh dikatakan sudah berjalan dengan selaras seperti UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU No 38/2014 tentang Keperawatan, UU No 4/2019 tentang Kebidanan, dan RUU tentang Kefarmasian. Sebab semua UU tersebut merujuk kepada UUD Negara RI Tahun 1945 dan UU No 36/2009 tentang Kesehatan (hasil revisi dari UU No 23/1992), dan semuanya dibuat oleh institusi yang sama, yakni DPR dan Pemerintah. 
 
Selain itu, semua UU tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu: memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi serta tenaga medis lainnya, memberikan kepastian hukum kepada dokter dan dokter gigi dan tenaga medis Kesehatan lainnya seperti Bidan, perawat, dan Apoteker, dan terutama perlindungan pelayanan kepada masyarakat.

Ketua PPNI Provinsi NTB Muhir dan Ketua IBI Provinsi NTB Ni Wayan Mujuningsih mengatakan hal-hal lain yang perlu dijadikan perhatian, tenaga kesehatan juga merupakan warga negara yang memiliki hak-hak konstitusi yang sama, di antara hak-haknya adalah mendapat perlindungan hukum, perlindungan diri, harkat dan martabat, serta berhak memperoleh pekerjaan dan kesejahteraan diri dan keluarganya. 

Biaya pendidikan yang tinggi menyebabkan tidak semua siswa berpotensi sanggup melanjutkan pendidikan di fakultas kedokteran.  

Pajak alat kesehatan yang tinggi menyebabkan pemerataan dan penguasaannya membutuhkan biaya tinggi. Selain itu, remunerasi yang berkeadilan bagi tenaga kesehatan sangat dibutuhkan, terutama di daerah 3T (terluar, tertinggal, terdepan) agar lebih banyak yang mengabdi. 

Ketua IAI Provinsi NTB Agus Supriyanto menyatakan OP Kesehatan tidak pernah memperoleh informasi ataupun diajak terlibat dalam diskusi mengenai RUU Kesehatan ini. Demikian juga dengan Pemerintah daerah dan Dinkes Setempat juga tidak mengetahui hal ini. 

Padahal keberadaan OP kesehatan membantu tugas pemerintah dan dinkes daerah terutama dalam pemeriksaan latar belakang anggota, penanganan etik, dan lain-lain.

Sejalan dengan pernyataan Organisasi Profesi Medis dan Kesehatan Nasional yang digaungkan beberapa pekan lalu, Kelima OP Kesehatan di NTB ini juga menyatakan siap mendukung perbaikan Sistem Kesehatan Nasional melalui UU Sistem Kesehatan Nasional, namun tidak dengan menghilangkan UU Profesi yang sudah ada. (OL-1)

BERITA TERKAIT