PAMERAN tunggal Hendrik Lawrence Lukman, menyajikan serangkaian karya
yang merepresentasikan tubuh manusia melalui medium cat air dan
keutamaan drawing. Representasi dalam karya-karya Hendrik Lawrence
Lukman tidak hanya bermuara pada persoalan eksotika tubuh terkait gender yang menyempit pada soal male gaze, melainkan memperkarakan pula narasi yang hidup dan beririsan dengan disiplin tubuh dan relasi kuasa.
Representasi tubuh dalam sejumlah karya yang dibuatnya tak hanya
menyiratkan persoalan vision dan 'visuality, tetapi menyeret pula
pertimbangan, penghayatan atas aspek-aspek mendasar terkait cahaya,
gestur, dan aspek pembentuk lain di samping pencarian kode-kode yang
bertumpu pada resepsi dan tafsir yang bersumber dari realitas kedua
selaku tawaran refleksi.
Pameran terbuka yang diadakan mulai 24 sampai 30 September 2022 sejak
pukul 10.00 hingga 17.000 WIB yang diadakan di Thee Huis Gallery, Taman
Budaya Jawa Barat (Jabar), Kota Bandung, itu, sukses menarik animo masyarakt untuk menyaksikan pameran yang bertema Body in Art.
Kurator dari pameran ini, Diyanto mengatakan, tubuh manusia adalah bahasa yang mewartakan batin, mengutip Romo Mangun, 1986.
Karya seni rupa yang mengangkat ihwal representasi tubuh sudah eksis
setua sejarah seni rupa itu sendiri. Dalam perkembangan sejarah seni
rupa dari masa ke masa, tubuh menjadi salah satu subjectmatter yang
sering hadir dengan citraan beragam, baik medium dan gaya yang
berbeda-beda selaras dengan gagasan pemikiran dan semangat jaman yang
mempengaruhi senimannya.
Namun, dalam kaitan produksi artistik tidak jarang tubuh yang dipertontonkan dalam karya seni rupa menuai kontroversi akibat perbedaan persepsi atau cara pandang terhadap pemaknaan tubuh. Dalam masyarakat yang bersandar pada moralitas agama dan filsafat misalnya, soal tubuh sudah lama melahirkan perdebatan panjang: tubuh dianggap sebagai sumber masalah atau penghalang bagi cita-cita ideal manusia.
"Pandangan seperti ini sejajar dengan doktrin dualiasme filsafat Plato
yang jelas-jelas mendiskreditkan tubuh sebagai 'penjara bagi jiwa‘. Di era kehidupan modern, tubuh tidak bisa lepas dari identitas gender yang merupakan hasil dari konstruksi sosial dan kultural. Konsep yang
berbicara tentang perbedaan sifat atau perilaku laki-laki dan perempuan
namun bukan selaku ketentuan biologis bersifat permanen (kodrat) dari
Tuhan ini tumbuh melalui sejarah dan proses panjang," ujarnya.
Menurut Diyanto, sejumlah karya yang tampil dalam pameran Tunggal
Hendrik sebagian besar menampilkan eksotika tubuh manusia melalui
pendekatan mimesis, yakni upaya meraih dan mengejar kemiripan atas apa
yang terlihat sepersis mungkin.
Sebagaimana diakuinya, pijakan artistik ini dipicu oleh dua pemantik: pertama, pembuktian atas tantangan yang dilontarkan mendiang Barli Sasmita guru sekaligus sahabatnya, sehubungan dengan pentingnya meraih penguasaan teknis penggambaran anatomi tubuh manusia selaku basis reproduksi kekaryaan.
Kedua, menyadari lingkup eksplorasi atas tubuh selaku produksi pengetahuan.
"Melalui dua pemantik yang kuat menguntit dan membayanginya, Hendrik
terbukti mampu menjaga kontinuitas dan spirit berkaryanya. Kecakapan
teknis yang dikuasainya, terutama dalam menghadirkan kembali kenyataan
viktorial atas tubuh-tubuh manusia, menyiratkan berbagai impresi yang
membawa kita pada interpretasi tertentu yang tak lepas dari kaitan
identifikasi," jelasnya. (N-2)