Kain batik bermotif buah srikaya berwarna hijau dengan kombinasi biru itu sudah masuk ke tahap akhir, warna-warna sudah melekat. Anggita Nur Khasanah, siswa kelas 5 SDN Tengklik, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta memulaskan kuasnya di atas kain yang terbentang di teras kelasnya itu, membubuhkan cat hitam untuk memberikan aksen biji.
Batik yang telah melalui proses menggambar motif dengan pensil, membubuhkan lilin dengan canting, merendam dengan pewarna, pembasuhan hingga perebusan itu merupakan karya Anggita yang mengaku memang hobi menggambar. Anggita merupakan salah satu dari anggota Komunitas Pembatik Cilik, wadah bagi siswa lintas sekolah binaan Yayasan Pendidikan Astra – Michael D. Ruslim (YPA-MDR) yang memiliki minat membatik, sasaran utamanya anak-anak dari komunitas prasejahtera.
“Saya dan teman-teman belajar membatik sejak kelas 1 SD dan kain bermotif srikaya ini kami selesaikan selama tiga bulan,” kata Anggita.
Selain siswa-siswa dari SDN Tengklik, kegiatan pelatihan yang disertai pemberian pemahahaman tentang filosofi batik itu juga diikuti siswa SDN Gupit, juga di Kecamatan Gedangsari, salah satunya, Nadya Zuhratul Amaliyah, murid kelas 5. Setiap harinya Nadya harus menempuh perjalanan 90 menit dari rumahnya berjalan kaki menuju sekolah. Total ada 6 SD, 1 SMP dan 1 SMK yaitu SMKN 2 Gedangsari yang terlibat dalam program ini.
“Saya senang pelajaran IPA dan suka kegiatan membatik karena saya juga suka kesenian, selain saya membatik, juga diajari cara bercerita tentang gambar yang saya buat,” kata Nadya dalam acara Virtual Media Tour Komunitas Pembatik Cilik yang diselenggarakan YPA-MDR, belum lama ini.
Kepala Sekolah SDN Tengklik Eni Herlina Buwono menyatakan kegiatan Komunitas Pembatik Cilik mengalirkan manfaat dan kegembiraan bukan cuma pada siswa, tapi juga guru serta pada pendamping. “Ini adalah ilmu yang baru yang menggembirakan dan menambah wawasan di masa pandemi ini,” kata Eni.
Wahyuni, pendamping Komunitas Pembatik Cilik berkisah, motif srikaya menjadi pilihan Anggita dan kawan-kawannya berdasarkan pengamatan pada sekitarnya.”Srikaya ini merupakan ikon di sekitar sekolah, tiap siswa di rumahnya pasti memiliki pohon srikaya. Mereka kemudian memindahkan srikaya itu dalam kain, mulai menggambar pola hingga jadi kain batik,” ujar Wahyuni.
Karya para pembatik cilik itu bukan cuma mewarnai sekolah, tapi juga memeriahkan Seremoni Ekspor Desa Sejahtera Astra (DSA) Kriya, di Hutan Pinus Mangunan, Bantul, DI Yogyakarta, Selasa (26/7). Batik-batik yang masih berwujud lembaran kain itu dikenakan enam model perempuan dalam peragaan busana yang juga dihadiri Pemerintah Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
“Pembinaan kami sudah berjalan sejak 2007 dan ini selaras dengan program Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dan Bantul yang menetapkan membatik sebagai Muatan Lokal kurikulum sekolah.. Pada 2022 ini kami juga mereplikasi program ini di Kecamatan Pandak, Bantul, Yogyakarta,” ujar Ketua YPA-MDR Herawati Prasetyo sembari menambahkan, YPA-MDR, dalam 13 tahun kiprahnya telah menyasar 9 yayasan, 111 sekolah, 1622 guru serta 24 ribu murid.
Kegiatan membatik yang digelar sebagai Muatan Lokal sekaligus ekstra kurikuler itu, kata Herawati, mengimplementasikan pembinaan kecakapan hidup. Kegiatan diselenggarakan sepekan sekali. Pada tahapan berikutnya, komunitas ini akan merintis geliat desa wisata yang menyediakan pengalaman belajar membantik bagi para pelancong.
Anjani Sekar Arum pelatih Komunitas Pembatik Cilik yang juga jawara SATU Indonesia Awards 2017 menyatakan tantangan utamanya adalah membangkitkan minat dan mendorong para siswa membuat karya dari hati. “Komunitas ini mendukung predikat Yogyakarta sebagai Kota Batik Dunia yang dinobatkan oleh Dewan Kerajinan Dunia (World Craft Council). Saat itu, Kecamatan Gedangsari terpilih menjadi salah satu destinasi perhelatan Jogja International Batik Biennale (JIBB) 2018. Bahkan, Presiden World Craft Council Ghada Hijjawi Qaddumi mengunjungi Jurusan Tata Busana SMKN 2 Gedangsari yang menjadi binaan YPA-MDR,” kata Anjani.