19 July 2022, 13:06 WIB

Melihat Keunikan Kopi di Pegunungan Meratus


Denny Susanto | Nusantara

MI/Denny Susanto
 MI/Denny Susanto
Dwi Putera Kurniawan sedang meramu kopi arabika dari Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan 

BANYAK yang tak percaya dan terheran-heran ketika melihat secara langsung pohon-pohon kopi dengan buah cukup lebat di belakang rumah salah seorang warga di Kampung Kiyu,  Desa Hinas Kiri, sebuah permukiman penduduk Suku Dayak di kaki Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan. Uniknya pohon-pohon kopi ini berjenis arabika dan tumbuh dengan subur di ketinggian 400 mdpl.

Padahal habitat tanaman kopi jenis arabika umumnya tumbuh di dataran tinggi sekitar 1000-1.800 mdpl, seperti arabika gayo, Aceh yang terkenal hingga mancanegara.

"Ini pohon kopi arabika yang kita tanam pada 2017 lalu. Bibitnya dibantu kawan-kawan petani kopi dari Gayo Aceh," terang Dwi Putera Kurniawan, sembari menunjukkan buah cery merah dan daun tanaman kopi kepada sejumlah peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) beberapa waktu lalu.

Tak lupa Dwi juga memperlihatkan dan kemudian membandingkan bentuk buah dan pohon kopi jenis robusta yang tumbuh di Kampung Kiyu. "Ini sebuah keunikan bahwa ternyata arabika juga bisa tumbuh dengan baik di dataran rendah. Meski produksi buahnya tidak sebanyak jika ditanam di habitatnya," jelas Dwi, Senin (18/7).

Tak lupa Dwi juga memperlihatkan dan kemudian membandingkan bentuk buah dan pohon kopi jenis robusta yang tumbuh di Kampung Kiyu. "Ini sebuah keunikan bahwa ternyata arabika juga bisa tumbuh dengan baik di dataran rendah. Meski produksi buahnya tidak sebanyak jika ditanam di habitatnya," jelas Dwi.

Dwi yang juga menjabat Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Provinsi Kalimantan Selatan ini, menjelaskan tentang seluk beluk kopi lokal Kalsel, termasuk hambatan dan tantangan pengembangannya kepada para peneliti BRIN yang datang ke Kalsel dalam rangka pengembangan green ekonomi tersebut. Pemilik bisnis kopi bernama Biji Kopi ini menceritakan pada 2017 lalu sebanyak 150 bibit kopi jenis arabika coba mereka tanam di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) tepatnya Gunung Kahung.

Namun hanya puluhan pohon yang sempat ditanam, karena adanya larangan karena alasan masuk kawasan hutan. Sekitar 120 pohon yang belum ditanam kemudian disebar ke sejumlah lokasi di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Salah satunya Kampung Kiyu, yang berada di kaki Gunung Halau-halau.

baca juga: Mengulik Riwayat Kopi Pedalaman Meratus

Tak berhenti di situ pada awal 2019 SPI kembali menanam sekitar 2.000 benih dan bibit kopi arabika dengan melibatkan masyarakat adat. Selanjutnya pada 2021 SPI bersama Pena Hijau Indonesia menggelar kegiatan Ekspedisi Meratus 1000 mdpl. Salah satu kegiatannya adalah penanaman benih dan bibit arabika di kawasan Gunung Halau-halau dan Gunung Periuk, Hulu Sungai Tengah.

 "Tidak hanya SPI beberapa pihak juga telah mengembangkan kopi jenis arabika skala besar di kawasan Juhu, Pegunungan Meratus," ujar Dwi.

Keunikan lain dari kopi lokal Kalsel atau Kopi Meratus adalah memiliki 4 jenis kopi yaitu arabika, robusta, liberika dan ekselsa.

Beberapa kopi lokal yang terkenal antara lain Bati-bati (Tanah Laut) dengan jenis liberikanya, Pengaron-Aranio (Banjar), Tapin dan Hulu Sungai Tengah dengan robustanya. Di samping uniknya arabika yang tumbuh di dataran rendah, banyak pula kopi jenis liberika yang tumbuh di dataran tinggi.

Diakui Dwi, komoditas kopi bagi masyarakat Kalsel bukanlah sesuatu yang baru karena komoditas ini masuk ke Kalimantan atau tanah Borneo pada zaman penjajahan Belanda.

Bahkan di era 1980-an pemerintah melakukan penanaman besar-besaran komoditas kopi dan coklat di kawasan Pegunungan Meratus. Luas kebun kopi di Kalsel menurut data SPI seluas 2.300 hektare yang keberadaannya ikut terancam akibat ekspansi perkebunan sawit.

Kegiatan Ekspedisi Meratus ini mendapat dukungan dari Pemkab Hulu Sungai Tengah, karena menjadi bagian dari upaya peningkatan ekonomi warga pegunungan sekaligus pelestarian kawasan Pegunungan Meratus.

"Ada dua poin penting dari momen peluncuran kopi meratus ini, yaitu salah satu upaya kita mengatasi deforestasi akibat praktek pembabatan hutan, serta peningkatan ekonomi masyarakat sekitar hutan dengan penanaman komoditas kopi ini," tutur Bupati Hulu Sungai Tengah, Aulia Oktafiandi.

Aulia berharap masyarakat atau petani tidak setengah-setengah sehingga pengembangan kopi dapat dilakukan menyeluruh dari hulu ke hilir. Di masa datang Hulu Sungai Tengah akan memiliki brand kopi lokal Kopi Meratus yang dapat bersaing dengan produk kopi lain di Indonesia seperti Aceh, Sulawesi dan Bali.        

Bagi Pemkab Hulu Sungai Tengah yang selama ini gencar mengkampanyekan penyelamatan dan pelestarian kawasan Pegunungan Meratus melalui gerakan Save Meratus. Pengembangan komoditas kopi dipilih karena kopi punya nilai ekonomi tinggi, ramah lingkungan yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan ekonomi masyarakat. (N-1)

 

BERITA TERKAIT