PESTA Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) Nasional XIII resmi dibuka, Senin (20/6) malam di Candi Prambanan. Event tiga tahunan ini diikuti oleh 8.144 peserta dari 34 provinsi. Acara kali ini yang bertema Harmony in Diversity ini akan berlangsung hingga (26/6) mendatang.
Wakil Menteri Agama, Zainut Tauhid Sa'adi menyampaikan Pesparawi Nasional XIII memiliki tujuan yang sangat mulia untuk mengembangkan keimanan, penghayatan, dan pujian kepada Tuhan Yang Maha Kuasa melalui kidung dan pujian.
Gelaran Pespawari yang diikuti gereja-gereja dari berbagai aliran dan denominasi menjadi sarana membangun kerukunan kerukunan internal umat Kristiani
"Lebih dari itu, Pesparawi juga memiliki makna ganda untuk meningkatkan hubungan beragama bagi sesama umat Kiristiani dan antarumat beragama lainnya serta menumbuhkan rasa cinta, nasionalisme sehingga menciptakan masyarakat yang harmonis dan saling menghargai agama masing-masing," ungkap Zainut Tauhid membacakan sambutan dari Menteri Agama.
Dalam konteks masyarakat majemuk, Pespawari yang diselenggarakan bergantian memberikan sumbangsih dalam menumbuhkan rasa cinta, nasionalisme, dan mengembangkan kerukunan hidup antarumat beragama di Indonesia
Pesparawi pun sebagai salah satu implementasi moderasi beragama. Pasalnya, sekat-sekat dan dinding pemisah dikesampingkan dan diganti dengan tali persaudaraan.
Sementara itu, Gubernur DIY, Sri Sultan HB X menyampaikan, paduan suara tidak hanya sekadar tentang indah dan merdunya suara. Lebih dari itu, dalam paduan suara diperlukan keselarasan dan kesadaran untuk saling mengisi demi mencapai performa terbaiknya.
Apabila dimaknai secara filsafati, paduan suara selaras dengan ajaran moral khas Jogja, yaitu Sawiji Greget, Sengguh, Ora Mingkuh. Ajaran itu lahir dari buah pikir Sri Sultan Hamengku Buwono I, yang juga peletak dasar Kasultanan Ngayogyakarta.
Sawiji dapat dimaknai sebagai konsentrasi atau penjiwaan total tanpa menjadi tak sadarkan diri. Greget adalah semangat atau dinamika batin tanpa menjadi kasar.
Sengguh berti penuh percaya diri, namun tetap low profile, tanpa menjadi sombong. Ora-mingkuh adalah pantang mundur dengan tetap menjaga disiplin diri dan tanggung jawab.
"Bisa dikatakan, falsafah ini mewakili totalitas sikap manusia dalam hidupnya, baik dalam hubungan dengan sesamanya maupun dengan Tuhan Yang Maha Kuasa Cipta," ungkap Sri Sultan.
Dengan diadakannya Pesparawi di DIY, Sri Sultan juga berharap, para peserta bisa lebih mengenal nilai budaya dan kearifan lokal Yogyakarta. "Semogalah pula, para peserta masih sempat menghirup suasana Yogyakarta dengan serba kesahajaannya, di tengah-tengah senyum ramah masyarakat, khasanah wisata, dan budaya yang melingkupinya," tutup Sri Sultan. (OL-13)
Baca Juga: Longsor Rusak Tembok Penahan Tanah, Akses Ciawitali-Selakuning Lumpuh