KAIN tenun ikat merupakan salah satu warisan dari nenek moyang. Di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, kain tenun ikat digunakan untuk kebutuhan adat seperti dalam acara pesta, upacara, tarian, perkawinan hingga kematian. Namun di perkembangan kemajuan zaman saat ini, tenun ikat pun menjadi busana resmi dan modern yang didesain oleh para desainer dengan membuat aneka ragam pakaian dan lain sebagainya.
Dari tenun ikat yang dihasilkan ada sekitar 34 motif tenun ikat Kabupaten Sikka yang telah mendapatkan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) melalui indikasi geografis dengan sertifikat ID G 000000056 yang diterbitkan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM pada 8 Maret 2017.
Namun sayang, sejak dilanda pandemi tahun 2021, tenun ikat Sikka menjadi lesu di pasaran mancanegara. Hal ini disebabkan ketiadaan wisatawan asing yang membeli. Seperti yang dirasakan oleh kelompok tenun ikat sanggar budaya Bliran Sina di kampung Watublapi, Desa Kajowair, Kecamatan Hewokloang, Kabupaten Sikka. Sanggar Bliran Sina merupakan salah satu kelompok yang masih membuat kain tenun ikat secara tradisional hingga sekarang dengan proses pembuatan tenun ikatnya menggunakan bahan-bahan alam dan diproses menggunakan bahan tradisional.
Ketua sanggar Bliran Sina Yosef Gervasius, saat ditemui mediaindonesia.com, Sabtu (26/2), mengatakan proses pembuatan tenun ikat ini berasal dari bahan alam. Benangnya dari pintal tangan pohon kapas. Sementara, pewarnanya menggunakan pewarna alam seperti warna merah dari kulit akar mengkudu, warna hitam dari daun nila, warna coklat dari kayu mahoni dan warna kuning berasal dari kunyit dicampur dengan kulit pohon nangka.
Hal itu yang membedakan sanggar Bliran Sina dengan kelompok tenun ikat lainnya di Kabupaten Sikka yang menggunakan benang toko dan pewarna kimia.
Baca juga: Ketua Dekranasda Babel Minta Kalangan Muda Lestarikan Kain Tenun Cual Bangka
Yosef mengatakan, sebelum dihantam pandemi, sanggar Bliran Sina hanya mempromosikan kain tenun ikat alami. Namun dalam perjalanannya, Dinas Pariwisata Kabupaten Sikka menyarankan agar mempromosikan kain tenun ikat bersama dengan tarian dan musik tradisional yang bisa menarik pengunjung. Akhirnya, kata dia, sanggar pun mencoba hal tersebut dan sejak itu jumlah pengunjung dari tahun ke tahun mengalami peningkatan terutama wisatawan mancanegara.
Para wisatawan mancanegara dan domestik yang datang mengunjungi sanggarnya bisa melihat langsung proses pembuatan tenun ikat secara tradisional. Ditambah lagi, sanggar kita juga menawarkan atraksi tarian budaya hingga sekarang. Kemudian, di sanggar kita turut menjual tenun ikat yang bisa dibandrol oleh wisatawan untuk dibawa pulang.
"Dalam sebulan, bisa menghasilkan 5-6 sarung tenun ikat berukuran besar yang dikerjakan oleh satu orang. Hal ini dikarenakan banyak wisatawan asing dan domestik yang datang mengunjungi sanggar dan membeli sarung tenun ikat dari pewarna alam ini," kata Yosef.
Namun di masa pandemi ini, ungkap Yosef , sanggar Bliran Sina sepi pengunjung sehingga dalam sebulan satu orang penenun hanya bisa menghasilkan 1 sarung tenun ikat alam.
"Dalam kelompok kita itu ada 30 orang yang mengerjakan sarung tenun ikat. Jadi sekarang kita kesulitan memang di masa pandemi ini. Tidak ada tamu yang datang ke sanggar kita. Jadi mau tidak mau, satu penenun hanya mampu hasilkan satu tenun ikat. Tidak seperti sebelum pandemi, satu orang penenun bisa hasilkan 5 sampai 6 sarung tenun ikat," papar dia.
Ia mengaku kalau ada tamu yang datang ke sanggarnya di masa pandemi itu berarti tamu-tamu nekatan saja. Mungkin mereka sudah rindu bepergian sehingga berani datang mengunjungi sanggarnya.
"Dalam satu tahun ini, hanya dua kali turis asing yang datang di sanggarnya. Itu pun mereka yang sudah lama di Bali. Kalau dari luar negeri memang itu tidak ada yang datang. Jadi pasaran penjualan kain tenun ikat ini lesu," ungkapnya.
Banyak orang asing lebih senang warna-warna alam. Yosef pun mengaku pernah pasarkan tenun ikat yang menggunakan warna dari bahan-bahan kimia tetapi mereka tidak berminat. Jadi untuk sekarang, tidak ada wisatawan mancanegara yang datang khusus untuk membeli tenun ikat asli yang dibuat dari pewarna alam.
Meski begitu, ia terus menyarankan kepada kelompoknya untuk terus memproduksi tenun ikat alam ini demi menjaga warisan budaya leluhur. Tenun ikat tersebut dijual secara online atau ada satu dua orang pesan.
"Kalau sekarang ini baru ada yang pesan. Pesan juga baru tiga bulan yang lalu. Jadi sekarang mereka ada kerjakan. Kerjakan pun belum selesai sampai sekarang. Masih dikerjakan oleh penenun kita. Kemungkinan bulan depan baru selesai. Kalau produksi tenun ikat kita menggunakan bahan-bahan dari pewarna alam semua," ucap dia.
Ia pun berharap badai covid-19 ini bisa berlalu sehingga aktivitas kembali berjalan normal terutama sanggar bisa kembali dikunjungi oleh para wisatawan dari mancanegara.
"Kita harap badai Covid-19 ini cepat berlalu," pungkasnya.(OL-5)