16 October 2019, 21:20 WIB

Informasi HGU di Papua dan Papua Barat Tertutup Bagi Publik


Selamat Saragih | Nusantara

Istimewa/BUMN
 Istimewa/BUMN
Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP) Hendra J Kede.

MAJELIS Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP) memutuskan informasi dokumen hak guna usaha (HGU) di Provinsi Papua dan Papua Barat sebagai informasi publik yang bersifat tertutup.

Dalam putusannya, KIP telah memutuskan informasi dapat dibuka untuk daftar nama pemegang HGU. Lain halnya dokumen serta peta areal HGU diputuskan sebagai informasi tertutup.

“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian yakni menyatakan informasi yang dimohonkan pemohon yaitu nama pemilik HGU dan daftar HGU terlantar di Provinsi Papua dan Papua Barat sebagai informasi publik yang bersifat terbuka.” kata Hendra J Kede selaku Ketua Sidang dan Wakil Ketua KIP saat membacakan amar putusan di Ruang Sidang KIP, Jakarta, Senin (14/10).

Pertimbangan lain majelis untuk menutup informasi dokumen HGU adalah isu keamanan negara di Papua dan masalah kampanye hitam terhadap industri sawit.

Keputusan itu diapresiasi pengamat hukum kehutanan dan lingkungan Dr Sadino SH, MH. Dia yakin, keputusan ini bisa dijadikan yurisprudensi untuk di daerah lain (di luar Papua dan Papua Barat) bahwasanya informasi soal HGU tertutup untuk umum.

Dia menjelaskan, aturan di BPN, dokumen HGU terutama terkait dengan warkat dan data-data lainnya memang tidak terbuka untuk umum.

“Jadi karena ada aturan yang tidak membolehkan ya tentu KIP tidak bisa menafsirkan sendiri,” kata Sadino kepada wartawan, Rabu (16/10)

Sadino menambahkan, pemerintah tidak perlu membuka data HGU perkebunan sawit seluruhnya karena rawan dijadikan alat kampanye hitam.

Di sisi lain, negara juga wajib melindungi banyak kepentingan hukum lain terkait kerahasiaan pemerintah provinsi dan investasi.

Salah satunya agar kepercayaan kreditor terhadap dunia usaha tidak menurun karena selama ini HGU juga dijaminkan.

“Jika semua data HGU dibuka, maka kepercayaan investor terhadap dunia usaha di Indonesia menjadi berkurang,” kata Sadino.

Menurut Sadino, sebenarnya data umum mengenai keterbukaan HGU sudah ada yang bisa diakses publik. Data HGU tersebut menyangkut luasan perkebunan, tanggal penerbitan, nomor penerbitan dan data umum lainnya.

Hanya permintaan kelompok sipil untuk mengakses semua data HGU terkait semua dokumen termasuk data SHP atau shapefile dan peta koordinat sangat berlebihan.

“Untuk kepentingan apa seluruh data itu harus bisa diakses. dalam industri sawit selama ini, ujung-ujungnya data ini hanya akan dipergunakan sebagai alat kampanye hitam,” katanya.

Menurut Sadino, kalau ada LSM yang mengaku mewakili masyarakat sipil atau masyarakat yang berkonflik dalam kasus per kasus pengajuan itu bisa saja dilakukan, namun tetap ada mekanisme eksekusi/putusan.

Dalam putusan/eksekusi yang sering menjadi masalah adalah karena yang digugat hanya BPN. Sedangkan pihak-pihak seperti korporasi sawit lain sebagai pemegang tidak pernah digugat.

“Hal ini menyulitkan karena pemegang HGU, pasti akan keberatan dengan putusan BPN. Pada sisi lain, BPN hanya menguasai dokumen, tetapi lahan telah menjadi hak privat sampai selesai masa berlaku selesai,” katanya.

Menurut Sadino, salah satu cara yang bisa dilakukan BPN dalam menghadapi tuntutan masyarakat yakni melakukan evaluasi jika pemanfaatan lahan tidak sesuai atau terjadi penelantaran lahan.

Sadino mengingatkan, pemerintah punya kewenangan untuk menolak membuka seluruh data HGU karena tata cara di undang-undang perkebunan sangat ketat untuk mendapatkan HGU.

Selain prosedur yang ketat, waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan HGU sangat panjang. Biasaya dalam proses pembuatan HGU, semua persoalan menyangkut hak rakyat dan ulayat sudah diselesaikan terlebih dulu, sebelum HGU diterbitkan.

Hanya saja, persoalan terbesar yang sering terjadi, biasanya ada kelompok tertentu yang merupakan pendatang, mengatasnamakan rakyat untuk menuntut tanah yang bukan haknya. (OL-09)

BERITA TERKAIT