18 August 2023, 03:45 WIB

Korban Berjatuhan, Semrawut Kabel di Ibu Kota kian Meresahkan


Hanif Rahadian I Litbang Media Indonesia | Megapolitan

Dok MI
 Dok MI
Ilustrasi: Kabel Semrawut di Jakarta.

JAKARTA, sebagai Ibu Kota negara, seyogianya memiliki tata tempat yang rapi, bersih, nyaman, dan aman. Jakarta tidak hanya menjadi sebuah kota sentral, tetapi juga sebagai representatif citra bangsa di mata dunia. 

Sudah barang tentu kota ini perlu dibangun dengan rapi sehingga dapat memberikan tidak hanya kebutuhan masyarakat, tetapi juga rasa aman dan nyaman kepada setiap individu yang hidup di dalamnya. Apabila demikian, tidak hanya kota Jakarta, citra negara dan bangsa di mata dunia pun sudah pasti akan positif.

Sayangnya, permasalahan di Jakarta rasanya tidak kunjung habis. Selain dinobatkan sebagai kota dengan indeks kualitas udara terburuk di dunia, kota ini juga memiliki permasalahan terhadap tata kota yang tidak rapi. Masih banyak infrastruktur yang seakan terbangun asal-asalan. Kondisi ini pun diperparah dengan hadirnya kabel-kabel udara yang semrawut di langit-langit Kota Jakarta akibat tiang-tiang listrik yang berdiri dengan tidak beraturan. Tidak hanya merusak pemandangan, kabel-kabel ini juga membahayakan para pengguna jalan.

Baca juga: Mediasi Keluarga Sultan dan PT Bali Towerindo belum Capai Kesepakatan

Eksisnya kabel-kabel udara di langit Ibu Kota Jakarta yang mayoritas didominasi fiber optik ini didukung sejumlah alasan. Salah satunya ialah penataan infrastruktur kota yang tidak terencana dengan matang. 

 

Faktanya, banyak tiang listrik di Jakarta dan sejumlah kota lain di Indonesia terbangun dengan tidak rapi dan ditambah dengan pemasangan kabel fiber optik yang berantakan dan terkesan tidak terawat. Karena itu, tak jarang kabel-kabel yang rusak, baik karena aksi manusia maupun kondisi alam, akhirnya menjuntai di jalanan dan menimbulkan potensi bahaya bagi para pengguna jalan. 

Alasan lainnya ialah regulasi yang berlaku belum cukup memberikan sanksi tegas, yang dapat menuntut pertanggungjawaban kepada perusahaan pemilik kabel utilitas apabila terjadi kecelakaan.

Memakan korban

Sejak 2015 hingga 2023, berantakannya kabel-kabel di Jakarta telah memakan korban hingga lima orang. Pada 2015, dua orang dengan inisial NA, 23, dan SN, 23, meninggal dunia akibat tersengat listrik dari kabel penerangan jalan yang terkelupas di Jalan Mangga Dua Raya, Sawah Besar, Jakarta Pusat. 

Baca juga: Heru Dorong PT Bali Tower Komunikasi Intens Dengan Keluarga Korban

Lalu, di 2023, kecelakaan akibat kabel menjuntai kian santer beberapa bulan terakhir. Setidaknya sebanyak tiga kasus terjadi pada periode Januari, Juli, dan Agustus. 

Kasus pertama terjadi pada 5 Januari 2023. Korban berinisial SRA, 20, mengalami kecelakaan setelah tersangkut kabel fiber optik yang menyebabkan tulang muda tenggorokannya putus dan merusak saluran pernapasan dan makannya. 

Kondisi ini akhirnya menjadikan SRA tidak dapat bicara, kesulitan menelan makanan, serta harus menggunakan alat bantu pernapasan untuk beraktivitas sehari-hari.

Kasus kedua terjadi pada 28 Juli 2023. Pengemudi ojek online berinisial V, 38, meninggal dunia setelah terjerat kabel yang melintang di Jalan Brigjen Katamso, Palmerah, Jakarta Barat. 

Terbaru, yakni kasus ketiga, terjadi pada 9 Agustus 2023, menimpa pemuda berinisial A, 21. Ia terjerat kabel yang putus saat berkendara di kawasan Jalan KS Tubun, Slipi, Jakarta Barat. Beruntungnya korban tidak sampai jatuh dari motor yang ditumpangi dan hanya mengalami luka ringan.

Kecelakaan demi kecelakaan yang melibatkan kabel-kabel menjuntai tak beraturan di Jakarta yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir pada 2023 pun menjadi perhatian banyak kalangan. Pertanyaan yang timbul kemudian ialah sampai kapan bahaya dari kabel-kabel di Ibu Kota ini akan terus menghantui para pengguna jalan dan berapa banyak lagi korban yang harus jatuh.

Sarana Jaringan Umum Terpadu, sebuah solusi?

Dok PT. Jakarta Propertindo--Illustrasi: Sarana Jaringan Utilitas Terpadu

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki sebuah program yang dinamakan Sarana Jaringan Utilitas Terpadu (SJUT). Program SJUT adalah langkah Pemprov DKI untuk merelokasi kabel-kabel udara ke bawah tanah. 

SJUT digadang-gadang merupakan jawaban serta solusi untuk mewujudkan kerapian tata kota yang bebas dari kabel udara serta mendukung kenyamanan masyarakat, terkhusus para pengguna jalan.

Pengerjaan SJUT dilakukan dua badan usaha milik daerah (BUMD) DKI Jakarta, yaitu PT. Jakarta Propertindo (Jakpro) dan Sarana Jaya. Tugas pengerjaan SJUT kemudian dibagi dua, Jakpro akan mengerjakan SJUT di 22 ruas jalan di Jakarta Selatan dan 10 ruas jalan Jakarta Timur, sementara Sarana Jaya akan berfokus di pengerjaan SJUT Jakarta Barat dengan 12 ruas jalan dan Jakarta Pusat sebanyak 24. 

Dengan demikian, total jalan ruas jalan yang dikerjakan oleh kedua BUMD tersebut mencapai 71 ruas jalan dengan panjang total jalan mencapai sekitar 224 km.

Meski begitu, pemindahan kabel udara ke bawah tanah bukanlah pekerjaan mudah. Sejumlah tantangan menjadi penghalang yang membutuhkan solusi. Biaya tinggi, keharusan untuk membongkar tiang listrik yang sudah terpasang, serta menentukan jalur tanah yang aman ialah serangkaian hambatan dalam implementasi program SJUT di Ibu Kota. 

Program ini rumit karena akan memakan waktu sebab perlu melakukan penggalian terlebih dahulu. Pemprov DKI Jakarta pun menuturkan seluruh kabel fiber optik di DKI akan mulai direlokasi pada September 2023. 

Kemudian, Pemprov juga akan mencabut tiang listrik di seluruh wilayah Jakarta sebanyak 400 tiang per hari. Untuk sementara, kabel-kabel yang ada di tiang-tiang tersebut akan dipotong dan dibentangkan di trotoar. Kabel-kabel ini yang kemudian akan direlokasi melalui program SJUT.

Masalah lain dihadapi Pemprov DKI manakala realisasi program SJUT tidak sesuai target. Sejauh ini, menurut data per Februari 2023, Jakpro baru merealisasi pembangunan SJUT sebanyak 25 km dari total target 100 km. Bahkan, Sarana Jaya baru mengerjakan kurang lebih 1 km dari target 100 km. Permasalahan ini mendorong Dinas Marga DKI Jakarta untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja Jakpro dan Sarana Jaya.

Kemudian, mahalnya biaya sewa turut menjadi perhatian sejumlah pihak. Jakpro sebelumnya memberikan nilai sewa sebesar Rp15.000/m/tahun untuk slot pipa 25/20 mm, Rp13.000/m/tahun untuk slot pipa 20/16 mm, serta Rp3.000/m/kabel/tahun untuk slot subduct (shared) 40/43 mm (FO akses) FO (max 12 core). 

Mahalnya biaya ini berpotensi memberatkan provider yang akan mendorong mereka menaikkan tarif layanan dan berdampak langsung kepada masyarakat sebagai konsumen. 

Realisasi program SJUT juga baru akan tercapai sepenuhnya dalam kurun waktu 4-5 tahun mendatang. Jika proyek berjalan tidak sesuai target, bukan tidak mungkin penerapan proyek SJUT 100% dapat tercapai lebih dari kurun waktu yang telah direncanakan.

Memang, tidak akan mudah bagi Jakarta melakukan pembenahan tata kotanya. Pemindahan kabel udara ke bawah tanah bukanlah pekerjaan mudah, terlebih memerlukan biaya yang tentu tidak murah. 

Namun, meski begitu, tetap harus ada langkah konkret serta perhatian serius baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagai pihak-pihak penyelenggara jalan baik secara umum, nasional maupun jalan daerah, untuk menanggulangi musibah jerat kabel ini agar tidak membahayakan para pengguna jalan serta menjadi musibah berulang dan memakan korban. 

Lebih lanjut, program SJUT masih terbatas diterapkan di Kota Jakarta. Lantas bagaimana nasib kota-kota lain di Indonesia, yang juga memiliki persoalan serupa, yakni banyaknya kabel-kabel semrawut tidak beraturan, yang menjuntai bebas membawa ancaman? (Z-1)

BERITA TERKAIT