BERDASARKAN data yang dihimpun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), baru 5% kendaraan bermotor di Jakarta yang telah melakukan uji emisi. Hal itu diungkapkan oleh Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Luckmi Purwandari.
"Jadi 90% sampai 95% kendaraan bermotor di Jakarta belum melakukan evaluasi uji emisi. Jadi ini perlu ditingkatkan," kata Luckmi, Rabu (24/5).
Ia menegaskan bahwa pengendalian dan pengurangan gas buang dari kendaraan bermotor yang menyebabkan emisi gas rumah kaca harus ditingkatkan. Pasalnya, pada 2020, KLHK mencatat tren kenaikan emisi gas rumah kaca sebesar 4,3% per tahun. Di samping itu, BMKG juga mencatat kenaikan suhu sebesar 0,03% pertahun.
Baca juga: Jakarta Gelar Uji Emisi Akbar Gratis Demi Perbaiki Kualitas Udara
"Di daerah perkotaan, isu dan dampak perubahan iklim serta pencemaran udara ini sudah kita rasakan, mulai dari udara panas dan kotor. Umumnya transportasi menjadi salah satu penyumbang utama kondisi tersebut di kota-kota besar," beber dia.
Untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor transportasi, Luckmi menegaskan bahwa KLHK telah menerbitkan sejumlah aturan. Di antaranya Peraturan Menteri LHK nomor 20 tahun 2017 tentang Baku Mutu Emisi bagi Kendaraan Tipe baru. Lalu PP nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatur mengenai insentif dan disinsentif uji emisi kendaraan bermotor.
Baca juga: Uji Emisi Kendaraan Bakal Diperluas
"Selain itu ada program langit biru untuk provinsi, kabupaten dan kota memperbaiki kualitas udaranya," imbuh dia.
Dan yang teranyar ialah pengembangan aplikasi uji emisi elektronik yang dapat diakses dan digunakan di daerah-daerah. Nantinya aplikasi itu diharapkan dapat diintegrasikan dengan tempat parkir yang menerapkan insentif dan disinsentif berdasarkan hasil uji emisi kendaraan.
"Tentunya upaya-upaya ini harus dilakukan semua pihak agar menciptakan kota yang bersih dan bebas emisi," ucap dia.
Pada kesempatan tersebut, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal Ahmad Safrudin mengungkapkan bahwa diperkirakan pada 2030 emisi karbon yang dihasilkan dari sektor transportasi mencapai 470 juta ton CO2 ekuivalen. Namun demikian, bila penerapan kendaraan elektrik maupun kendaraan zero emission digalakkan, maka gas emisi dari sektor transportasi bisa ditekan 59% menjadi 280 juta ton CO2 ekuivalen.
"Mengkonversi kendaraan dari konvensional dan kendaraan listrik merupakan sebuah keniscayaan bila kita ingin mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor tersebut," ucap dia.
Selain mengurangi emisi, ia menegaskan bahwa kendaraan listrik maupun zero emission dapat menghemat sebanyak 59 juta kiloliter BBM dan 56 juta kiloliter solar atau setara dengan Rp677 triliun.
"Jadi tidak hanya emisi, tapi penggunaan kendaraan listrik bisa menjangkau ke aspek finansial juga," pungkas dia. (Ata/Z-7)