SERIKAT Pekerja Transportasi Jakarta (SPTJ) menanggapi pernyataan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo yang mengatakan sekitar 248 kecelakaan lalu lintas melibatkan bus Trans-Jakarta selama tahun ini.
Sebelumnya, Direktur Utama PT Transjakarta M Yana Aditya memaparkan jumlah kecelakaan bus Transjakarta sepanjang Januari hingga Oktober 2021. Dalam dokumen yang dia paparkan, ada 502 kecelakaan yang melibatkan bus Trans-Jakarta. Paling banyak terjadi pada Januari 2021 yakni 75 kecelakaan.
Pada Februari 2021, ada 63 kasus kecelakaan bus Trans-Jakarta. Pada Maret ada 72 kasus dan April ada 55 kecelakaan. Kecelakaan bus transjakarta pada Mei 2021 menurun menjadi 54 kasus, Juni 48 kasus, Juli 44 kasus, Agustus 22 kasus, September 42 kasus, dan Oktober 27 kasus.
Ketua Serikat Pekerja Transportasi Jakarta (SPTJ) Jan Oratmangun menyampaikan, pihaknya sangat prihatin dengan banyaknya kecelakaan tersebut. Untuk itu, sebagai bagian dari Trans-Jakarta, pihaknya meminta untuk segera melakukan evaluasi sistem yang saat ini di Trans-Jakarta.
"Serikat pekerja menilai kualitas layanan menurun. Ini dampak pemberlakuan berbagai kebijakan yang lebih mengutamakan profit oriented dibandingkan pemberdayaan sumber daya manusianya," kata Jan dalam keterangan resmi, Selasa (7/12).
Dari kebijakan profit oriented terjadilah subkebijakan efisiensi anggaran di tingkat lapangan. Kebijakan efisiensi, menurut SPTJ, tergolong salah kaprah. Beberapa contoh yang bisa menjadi perhatian karena kebijakan itu membuat tidak ada lagi petugas di bus yang seharusnya bisa menjadi pengingat bagi pramudi demi memastikan keamanan dan kenyamanan pelanggan. Ini menjadi salah satu hal yang harus diperhatian oleh perusahaan agar hal seperti ini tidak terjadi lagi.
Contoh kebijakan salah kaprah lain yaitu fungsi kontrol Trans-Jakarta sebagai regulator tidak berjalan dengan baik. Fungsi kontrol operasional yang tadi dilakukan oleh petugas pengendalian di setiap koridor/rute dengan skema tiga petugas pengendali saat ini dikerucutkan hingga hanya satu orang di setiap koridor. Karenanya, pengawasan terhadap perilaku mengemudi pramudi di koridor untuk menerapkan standar pelayanan minimum menjadi lemah.
"Kembalikan fungsi dan marwah Trans-Jakarta ke hakikatnya transportasi publik yang benar-benar menerapkan standar pelayanan minimum (SPM) yang tentu berbasis padat karya untuk menyerap tenaga kerja, bukan berbasis padat teknologi," pintanya. Ia juga meminta peningkatan kualitas layanan sesuai standar SPM dengan menempatkan lagi petugas PLB di dalam bus agar layanan menjadi baik dan masyarakat mau beralih dari kendaraan pribadi menggunakan transportasi publik.
Baca juga: Temui Dirut Transjakarta, Polisi Akan Tekankan Soal Manajemen SDM
"Selain itu, perlu dikuatkan kembali fungsi kontrol dan pengawasan Trans-Jakarta sebagai regulator terhadap operator. Bagaimana masyarakat mau naik Trans-Jakarta kalau kualitas layanan buruk, tidak aman, dan tidak nyaman. Boleh lakukan efisiensi dan mengunakan sistem, tetapi jangan salah kaprah dan mengabaikan keselamatan,” pungkasnya. Untuk itu, serikat pekerja meminta pertemuan bipartit semua serikat yang ada di Trans-Jakarta dengan manajemen untuk membahas kinerja dan perbaikan di perusahaan. (OL-14)