Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, akan bertemu dengan Presiden Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Xi Jinping di Beijing. Salah satu agendanya untuk mendiskusikan perdagangan dan mediasi Ukraina. Dia melawat setelah berhasil mengatasi penyakit radang paru-paru yang memaksanya untuk menunda perjalanan.
Dalam kunjungan bilateralnya, Lula berharap Brasil bisa mendapatkan perannya di panggung geopolitik dunia pasca periode isolasi di bawah pendahulunya yang beraliran sayap kanan, Jair Bolsonaro. Lula diperkirakan akan tiba di Tiongkok pada hari Selasa waktu setempat. Kunjungan Lula ke Tiongkok awalnya dilakukan pada 25-30 Maret lalu.
"Mereka akan berbicara mengenai perang di Ukraina," kata Menteri Luar Negeri Brasil Mauro Vieira kepada para wartawan.
Baca juga : Xi dan Macron Sepakat Pererat Kemitraan Tiongkok-Prancis
Lula berharap dapat mempromosikan proposalnya untuk melakukan pembicaraan terkait mediasi untuk mengakhiri invasi Rusia ke Ukraina. Pada saat Lula kembali ke negaranya, sebuah kelompok negara mediator akan terbentuk nantinya.
Baca juga : Media Tiongkok Silang Pendapat soal Kebenaran Perang Ukraina-Rusia
Lula, yang telah dua kali menjadi presiden Brasil sebelumnya, ingin memposisikan raksasa Amerika Selatan ini sebagai penengah, seperti yang ia lakukan pada masa jabatannya yang kedua, yang berakhir pada tahun 2010, selama diskusi nuklir antara Iran dan Amerika Serikat.
Namun, reputasi diplomatiknya memburuk tahun lalu ketika ia dikecam karena mengklaim bahwa Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky bertanggung jawab atas perang seperti halnya mitranya dari Rusia, Vladimir Putin.
Dia juga menolak untuk bergabung dengan negara-negara Barat dalam mengirimkan senjata ke Ukraina untuk membantu pertahanannya.
Dan pada hari Kamis, ketika Lula mengatakan bahwa Putin tidak dapat mempertahankan wilayah Ukraina dia mengkualifikasikan pernyataan tersebut dengan bersikeras bahwa Zelensky tidak dapat menginginkan segalanya.
Dia juga menyarankan agar Kyiv melepaskan klaimnya atas Krimea, yang dianeksasi oleh Moskow pada tahun 2014.
"Tidak ada alasan hukum, politik, atau moral mengapa Ukraina harus menyerahkan bahkan satu sentimeter pun dari tanahnya," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Ukraina Oleg Nikolenko di Twitter. (AFP/Z-8)