KORBAN tewas akibat gempa yang melanda Turki dan Suriah pada Senin (6/2) pagi telah meningkat. Otoritas di kedua negara telah mencatat angkanya menjadi lebih dari 11.000 orang.
Setidaknya 8.574 orang tewas di Turki, kata Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada Rabu (8/2). Sementara 2.530 orang telah tewas di Suriah.
Warga Negara Indonesia (WNI) di Suriah dan Turki mayoritas dalam kondisi selamat dan berada di daerah tidak terdampak gempa berkekuatan 7,8 magnitudo itu. Berdasarkan catatan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Damaskus, terdapat 116 WNI yang tinggal di Suriah, dengan rincian 34 orang di Latakia, 10 di Hama, tiga orang di Homs, 20 orang Tartus, serta 49 WNI di Aleppo.
Sementara WNI di Turki tercatat sebanyak 6.500 jiwa dengan sebagian besar berstatus mahasiswa dan pelajar. Dari jumlah tersebut, sekitar 500 orang tinggal di area gempa dan sekitarnya dengan dua meninggal dunia dan 10 luka.
Seorang mahasiswa Fakultas Ushuluddin Mujamma Syekh Ahmad Kaftaro Damaskus, Suriah, Muhammad Iskandar Dzulqornain, menuturkan kepada Media Indonesia bahwa kondisi WNI di Suriah relatif lebih aman jika dibandingkan dengan Turki. Pasalnya tidak terdapat laporan adanya korban dari gempa yang terjadi pukul 4.17 waktu setempat itu.
"Mahasiswa Indonesia di Suriah semuanya terkonsentrasi di Damaskus, dan daerah terdampak gempa paling besar ada di Kota Aleppo," ujarnya.
Ia mengatakan pemerintah Suriah dan pemerintah Indonesia melalui KBRI di Damaskus telah melakukan sejumlah langkah penting. KBRI di Damaskus telah mengeluarkan himbauan dan melakukan peninjauan terhadap WNI di Suriah.
Baca juga: KBRI Ankara Evakuasi 123 WNI, Dua WNI belum Ditemukan
Sementara itu, mahasiswi asal Cianjur yang sedang menempuh gelar strata 2 di Marmara University Istanbul, Turki, Nahziah, menyatakan kondisi serupa. Tidak ada korban luka maupun tewas WNI di Istanbul.
"Normal, tidak evakuasi. Dan saat gempa saja merasa kaget karena terjadi tiga jam sebelum waktu salat subuh atau 06.34 waktu setempat. Tapi tidak ada yang keluar apartemen karena di luar lagi hujan salju yang lebat," kata dia.
WNI asal Warungkondang pemegang ijazah strata 1 dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu mengatakan Istanbul dengan pusat gempa terpaut jarak yang jauh dengan 12 jam perjalanan.
"Cuaca di sini ekstrem sekali sejak lima hari ke belakang dengan intensitas hujan salju lebat. Sementara di daerah terdampak gempa itu cuaca ekstremnya lebih telah berlangsung lebih awal," paparnya.
Pemerintah Istanbul, kata dia, hanya menginformasikan cuaca buruk dan meminta semua penduduknya untuk diam di rumah. Mengenai gempa, otoritas setempat meminta hanya mengikuti informasi resmi dari pemerintah.
"Sebab di sini seperti juga di kita (Indonesia) suka ada yang menyebarkan kabar hoaks di tengah kepanikan pascagempa. Kemarin itu ada yang menyebarkan kabar lewat media sosial yang menyatakan gempa lebih besar dari Kahramanmaras akan melanda daerah lain termasuk Istanbul dan itu telah dibantah dan pelakunya ditangkap," ungkapnya.
Nahziah menambahkan pemerintah Turki mengajak mahasiswa untuk turut serta meringankan beban penduduk yang terdampak gempa. "Tapi hanya sebatas membantu mengemas barang bantuan. Untuk pergi ke lokasi gempa dilarang karena kondisinya tidak mendukung, akses sulit dan kondisi berbahaya," pungkasnya. (Aljazeera/OL-16)