17 January 2023, 16:45 WIB

Polisi Bangladesh Peras Pengungsi Rohingya


Cahya Mulyana | Internasional

dok/AFP
 dok/AFP
Sebaran pengungsi rohongya di Bangladesh yang ditempatkan dalam kamp pengungsi menjadi sasaran pemerasan unit elit polisi Bangladesh

SEBUAH unit polisi elit Bangladesh terlibat dalam pemerasan, pelecehan, dan penangkapan yang salah terhadap pengungsi Rohingya. Human Rights Watch mencatat unit itu ialah Batalyon Polisi Bersenjata (APBn) yang beroperasi di kamp-kamp yang menampung hampir satu juta imigran tanpa kewarganegaraan.

Sebagian besar imigran itu melarikan diri dari negara tetangga Bangladesh, Myanmar, setelah ditindas. Tetapi para pengungsi dan pekerja kemanusiaan mengatakan kepada pengawas yang berbasis di New York bahwa keamanan telah memburuk setelah unit tersebut mengambil alih kamp tersebut pada 2020.

Beberapa orang Rohingya mengatakan bahwa pelanggaran telah menjadi kejadian biasa. "Pelanggaran oleh polisi di kamp Cox's Bazar telah membuat pengungsi Rohingya menderita di tangan pasukan yang seharusnya melindungi mereka," kata peneliti HRW Asia Shayna Bauchner.

Dia mengatakan telah berbicara dengan puluhan pengungsi Rohingya yang tinggal di jaringan kamp yang luas dan penuh sesak di tenggara negara itu. Juga mendokumentasikan setidaknya 16 kasus pelecehan serius oleh petugas APBn.

"Unit itu menuntut uang banyak dari pengungsi jika tidak ingin ditangkap," kata dia.

Ia menambahkan bahwa keluarga imigran sering dipaksa untuk menjual perhiasan emas atau meminjam uang untuk membebaskan kerabat yang ditahan secara tidak adil. Bauchner meminta pihak berwenang untuk menyelidiki klaim tersebut dan meminta pertanggungjawaban APBn.

Komandan Batalyon Syed Harunor Rashid mengatakan laporan itu dipertanyakan. "Penjahat memberi tahu mereka fakta palsu, dan (Human Rights Watch) melaporkannya. Ini seperti memberikan kenyamanan kepada penjahat," katanya.

Ia menambahkan bahwa unit tersebut akan menyelidiki jika menerima pengaduan khusus. Polisi mengakui bahwa kekerasan telah meningkat di kamp-kamp, ??yang merupakan rumah bagi kelompok-kelompok bersenjata dan digunakan sebagai posko jaringan perdagangan narkoba regional.

Sedikitnya 20 pengungsi, termasuk tokoh masyarakat, dibunuh oleh kelompok bersenjata tahun lalu sebagai bagian dari perang wilayah di pemukiman.

Beberapa pengungsi Rohingya mengatakan bahwa pelanggaran oleh polisi merajalela. "Beberapa hari yang lalu saya kembali ke kamp dengan laporan medis saudara laki-laki saya dari rumah sakit. Petugas APBn menghentikan saya di pos pemeriksaan, menginterogasi dan menampar saya," kata Ali Jaker, 20.

Jaker mengatakan APBn mencuri setara dengan Rp.757ribu darinya. "Kemudian mereka mengambil ponsel saya. Mereka mengancam akan menindak saya jika saya berbagi cerita dengan siapa pun," tambahnya.

Sitara Bibi, 45, mengatakan pemerasan polisi adalah kejadian biasa. "Saya harus membayar sekitar Rp.400ribu kepada APBn selama pernikahan putra saya. Jika kami tidak membayar mereka, polisi akan mengajukan kasus penyelundupan narkoba terhadap putra saya," tambahnya.

Seorang pemimpin sipil Rohingya, yang berbicara tanpa menyebut nama, mengatakan para pengungsi dipaksa membayar polisi untuk melakukan perjalanan antar kamp atau untuk masuk ke kamp pada larut malam. "Jika ada yang menyerang pelanggaran ini, dia ditangkap," tambahnya. (AFP/OL-13)

Baca Juga: Berkaca Kasus George Floyd, Biden Reformasi Kepolisian AS

BERITA TERKAIT