Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan Korea Utara (Korut) bertanggung jawab untuk kembali ke meja perundingan denuklirisasi. Pyongyang harus memiliki komitmen untuk menghentikan program senjata nuklir demi stabilitas keamanan di Semenanjung Korea.
"Program senjata nuklir melanggar hukum yang dikejar oleh Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK) adalah bahaya yang jelas dan nyata. Itu mendorong risiko dan ketegangan geopolitik ke ketinggian baru," kata Guterres pada pertemuan Dewan Keamanan PBB tentang aturan hukum, yang diketuai oleh Menteri Luar Negeri Jepang Yoshimasa. Hayashi.
Ia mengatakan tanggung jawab ada pada DPRK untuk memenuhi kewajiban internasional dan kembali ke meja perundingan. Namun desakan itu dilawan Pyongyang.
Kementerian Luar Negeri Korut menuduh Guterres berpihak pada AS dan PBB gagal menjaga ketidakberpihakan dan objektivitas. Tiongkok mengatakan kunci untuk menyelesaikan masalah rudal balistik dan program nuklir Korut berada di pihak AS.
Washington telah menyerahkan kelanjutan kesepakatan denuklirisasi kepada Pyongyang. Sejauh ini Korut telah menolak permohonan diplomasi AS sejak Presiden Joe Biden menggantikan Trump pada Januari 2021.
Korut tahun lalu melanjutkan uji coba rudal balistik antarbenua untuk pertama kalinya sejak 2017. Korut juga bersiap untuk membuka kembali lokasi uji coba nuklirnya, meningkatkan prospek uji coba bom nuklir baru untuk pertama kalinya sejak 2017.
Korut telah dikenai sanksi PBB sejak 2006 atas program rudal nuklir dan balistik. Pembicaraan denuklirisasi enam pihak - antara Korut, Korea Selatan, Tiongkok, Amerika Serikat (AS), Rusia dan Jepang terhenti pada 2009. Pembicaraan antara pemimpin Korut Kim Jong Un dan Presiden AS saat itu Donald Trump pada 2018 dan 2019 juga menghadapi jalan buntu.
Tiongkok dan Rusia sejak itu mendorong pelonggaran sanksi PBB dengan alasan kemanusiaan dan membujuk Pyongyang untuk kembali berunding.
Taliban
Guterres juga mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa serangan terhadap hak-hak perempuan dan anak oleh Taliban menciptakan apartheid berbasis gender di Afghanistan. Pemerintahan Afghanistan dipimpin Taliban usai merebut kekuasaan pada Agustus 2021.
Taliban mengumumkan larangan perempuan bekerja pada 24 Desember. Perempuan juga tidak boleh mendapatkan akses pendidikan terkecuali di sekolah dasar (SD). (AFP/OL-12)