KENAIKAN inflasi menghimpit perekonomian rakyat Mesir. Untuk mengendalikannya, negara terpadat di jazirah Arab itu membuat proposal pinjaman ke IMF senilai US$3 miliar.
"Roti yang dulu saya beli seharga satu pound Mesir sekarang harganya tiga pound," kata Rehab, 34, di suatu toko roti Kairo, Mesir. Lonjakan harga bahan-bahan pokok menyebabkan tekanan finansial terhadap 104 juta penduduk Mesir.
Reda, seorang pegawai negeri berusia 55 tahun, mengaku gajinya tidak mampu menutupi kebutuhan sehari-hari. "Bahkan dengan dua gaji masih banyak yang tidak bisa saya beli lagi," jelasnya.
Pound Mesir terpukul oleh dolar Amerika Serikat setelah invasi Rusia ke Ukraina. Perang membuat harga gandum melonjak sangat berdampak pada Mesir sebagai salah satu importir biji-bijian terbesar di dunia.
Bank sentral dua kali mendevaluasi pound tahun lalu karena krisis mata uang asing. Barang-barang impor bernilai miliaran tertahan di pelabuhan Mesir karena belum mampu dibayar.
Di tengah krisis, pemerintahan Presiden Abdel Fattah al-Sisi telah mencari dana segar. Mulai bulan ini, wisatawan harus membayar tiket kereta dalam dolar, kata Menteri Perhubungan Kamel al-Wazir.
Banyak bank membatasi penarikan mata uang asing dan biaya kartu kredit tiga kali lipat. Dana Terusan Suez Mesir dalam dekade terakhir melipatgandakan utang luar negerinya menjadi US$157 miliar.
Pemilik devisa US$33,5 miliar itu membuat pinjaman IMF senilai US$3 miliar. Padahal Mesir sebagai salah satu dari lima negara yang paling berisiko gagal bayar utang luar negeri. Anggaran belanja Mesir paling banyak terserap untuk kebutuhan militer, termasuk itu yang bersumber dari utang atau pinjaman luar negeri.
Pengamat dari Institut Urusan Internasional dan Keamanan Jerman Stephan Roll mengatakan utang luar berfungsi mengonsolidasikan rezim militer. Di bawah tekanan IMF, Mesir berusaha membuat kemajuan dalam beberapa skema privatisasi yang telah lama tertunda. (AFP/OL-14)