SETELAH Perang Enam Hari 1967, Israel merencanakan penghancuran tempat bersejarah Mughrabi, Jerusalem, di dasar Tembok Barat tetapi berusaha menyembunyikannya, menurut buku yang diterbitkan, Jumat (28/1). Penulisnya, sejarawan Prancis Vincent Lemire, mengharapkan buku berjudul Dalam Bayangan Tembok: Kehidupan dan Kematian Kawasan Mughrabi Jerusalem memicu kontroversi karena sifat sensitif Kota Suci.
Lemire, yang menerbitkan beberapa buku tentang sejarah Jerusalem, mengatakan dia mengambil bahan dari arsip lokal, serta arsip Ottoman dan Prancis, untuk karyanya yang dirilis oleh Le Seuil di Paris. Sebagian besar turis yang mengunjungi Jerusalem berhenti di alun-alun Tembok Barat, lapangan besar dari batu mengilap yang memanjang dari tembok kuno. Menurut tradisi Yahudi, itu struktur Kuil Kedua yang masih ada dan situs paling suci tempat orang Yahudi dapat berdoa.
Namun sebelum Perang Enam Hari, ketika Jerusalem timur--termasuk kota tua bertembok--dikuasai oleh Yordania, tidak ada lapangan terbuka di dasar tembok. Sebaliknya, terdapat lingkungan Muslim sekitar 135 rumah yang awalnya didirikan pada abad ke-12 oleh Raja Saladin dan tempat pemimpin ikon Palestina Yasser Arafat tinggal selama masa mudanya.
Baca juga: Rilis, Hasil Autopsi Lansia Palestina yang Meninggal setelah Ditahan Israel
Lemire, direktur Pusat Penelitian Prancis di Jerusalem, menelusuri sejarah daerah itu dalam buku yang akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris akhir tahun ini oleh Stanford University Press.
Bukti definitif
Cerita yang umum diceritakan tentang nasib wilayah Mughrabi Jerusalem yaitu segera setelah Israel merebut Kota Tua, sekelompok 15 kontraktor swasta Yahudi menghancurkan lingkungan itu untuk membuat ruang bagi alun-alun Tembok Barat.
Peran yang dimainkan oleh wali kota Jerusalem saat itu Teddy Kollek dalam operasi tersebut sebelumnya dilaporkan oleh media.
Namun Lemire mengatakan kepada AFP bahwa bukunya menawarkan bukti tertulis yang definitif tentang perencanaan, perencanaan, dan koordinasi operasi itu. Dia mengutip risalah pertemuan antara Kollek dan komandan tentara yang bertanggung jawab atas Jerusalem pada 9 Juni 1967, hanya 36 jam sebelum lingkungan itu dihancurkan. "Salah satu agenda yaitu penghancuran kawasan Mughrabi," kata Lemire.
Dia juga merujuk dengan catatan kementerian luar negeri internal dari hari yang sama itu dalam menjelaskan kehancuran lingkungan itu. "Itu dirancang untuk membuat orang percaya bahwa mereka hanyalah daerah kumuh dengan bangunan berbahaya."
Baca juga: Film Israel Tampilkan Dugaan Pembantaian Warga Palestina pada 1948
Dia mengatakan dia menemukan catatan di arsip kotamadya Jerusalem yang merujuk pada kebutuhan untuk menghilangkan puing-puing di daerah itu atas perintah komando militer.
Tanggapan internasional
Setelah pembentukan Israel pada 1948, kekuatan kolonial di sebagian besar Afrika Utara pada saat itu, Prancis, menjadi pendukung keuangan kawasan Mughrabi. Lemire menulis bahwa ini merupakan bagian dari taktik regional yang lebih besar untuk menarik di antara Muslim Afrika Utara untuk melawan kebangkitan gerakan kemerdekaan di Aljazair yang saat itu merupakan koloni Prancis.
Namun setelah kemerdekaan Aljazair pada 1962, Prancis meninggalkan kawasan Mughrabi dan tetap diam seperti yang dilakukan beberapa negara lain ketika Israel menghancurkan daerah itu. Yordania, yang saat itu merupakan saingan berat Israel yang baru saja kehilangan kendali atas Jerusalem timur, juga tidak mengatakan apa-apa, tulis Lemire.
"Intuisi saya sebagai sejarawan yaitu ada kesepakatan implisit antara Israel dan Yordania," katanya kepada AFP. Yordania diizinkan untuk mempertahankan kendali atas kompleks Masjid Al-Aqsa yang berada di atas Tembok Barat dan merupakan situs tersuci ketiga Islam. Ini konsesi pascaperang yang mungkin telah membuat Amman diam atas kehancuran kawasan Mughrabi.
Baca juga: Perusahaan Israel Kembangkan Kamera Badan untuk Identifikasi Wajah
Dia juga mengatakan penduduk yang telantar di daerah itu menerima kompensasi finansial minimal, tetapi cepat setelah pembongkaran untuk mengamankan kebungkaman mereka. Lemire mengatakan kepada AFP bahwa dia mengharapkan beberapa tanggapan bermusuhan terhadap bukunya, mengingat kepekaan seputar situs suci Jerusalem dan fakta bahwa cerita ini tidak menyenangkan bagi semua orang.
Namun dia mengatakan dia terpaksa menulis tentang lingkungan yang tidak memiliki catatan sejarah. "Dengan buku ini, ada awal dari suatu sejarah. Ini suatu permulaan," katanya. (AFP/OL-14)