KOMISI Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pastikan 324 siswa di SDN 24 Galang dan 354 siswa SMPN 22 Kota Batam di Pulau Rempang yang terkena dampak kericuhan Rempang Eco City mendapatkan trauma healing.
Komisioner KPAI Diyah Puspitarini menyebut kericuhan yang terjadi pada, Jumat (7/9) lalu memang membuat banyak anak mengalami trauma. Diketahui banyak anak dilarikan ke rumah warga di Kampung Tanjung Kertang dan juga ke Rumah Sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan pertama. Sejumlah guru di sekolah tersebut juga ikut dalam menangani anak-anak yang terdampak.
“Secara fisik maupun psikis sudah ditangani dan diberikan pendampingan oleh dinas kesehatan maupun dinas sosial agar tidak menimbulkan trauma dan bisa kembali belajar dengan tenang dan nyaman,” ujar Diyah, Kamis (21/9).
Baca juga : Proyek Strategis Nasional Rempang Eco-City, Menemui Babak Baru
Saat melakukan pengawasan dan peninjauan, Diyah mengatakan KPAI mendatangi secara langsung SDN 24 dan SMPN 22 Pulau Rempang Kota Batam dan bertemu langsung dengan Kepala Sekolah kedua Sekolah tersebut serta guru, siswa dan warga sekitar.
“Kedua sekolah tersebut adalah satuan pendidikan yang terkena dampak cukup parah dari aksi protes pengukuran pengembangan kawasan Badan Pengusahaan (BP) Batam yang berlangsung ricuh,” kata dia.
Baca juga : Kontras: Kekerasan Aparat di Pulau Rempang Pelanggaran HAM
“KPAI turun melakukan pengawasan atas kejadian yang menimpa anak-anak SD dan SMP. Kami melihat langsung kondisi anak-anak serta menggali informasi dari guru yang menyelamatkan anak-anak ke rumah warga. KPAI sangat menyayangkan kejadian ini, karena berdampak pada terhambatnya pemenuhan hak pendidikan anak dan ini tergolong tindak kekerasan kepada anak,” tambah Diyah.
Selain itu, KPAI juga melakukan pengawasan ke Polresta Balerang untuk mendapatkan informasi yang akurat terkait bagaimana peraturan dalam hal mengantisipasi kericuhan sehingga tidak ada lagi korban anak dampak dari konflik sosial ini.
Anak dalam situasi darurat
Kasatreskrim Polresta Balerang Budi Hartono menuturkan bahwa hal tersebut terjadi karena kondisi tidak bisa diprediksi, saat itu ricuh dan aparat yang bertugas tidak berniat mengarahkan gas air mata ke anak-anak, jadi bisa dimungkinkan anak-anak terkena gas air mata yang terbawa angin, tuturnya.
KPAI berharap semoga peristiwa tersebut tidak terulang kembali dan mendorong Polresta Balerang untuk memastikan tidak ada anak yang berhadapan dengan hukum dalam kasus ini. Lebih lanjut, Diyah memberikan masukan terkait dengan penggunaan gas air mata pada kondisi ricuh yang sangat riskan di sekitar satuan pendidikan yang mengakibatkan kondisi anak dalam bahaya.
Kami juga memastikan agar kepolisian turut bertanggungjawab terhadap pemulihan anak-anak tersebut dengan mengedepakan humanisme dan bukan tindakan represif, tuturnya.
“Mari bersama-sama untuk mengedepankan kepentingan terbaik anak dan keselamatan anak pada saat konflik apapun terjadi. Sebab sesuai amanah Undang-Undang Perlindungan Anak pada Pasal 59A, anak-anak dalam kondisi darurat harus mendapatkan penanganan yang cepat, pendampingan psikososial, pemberian bantuan sosial, dan pemberian perlindungan, tutup Diyah.
Anak-anak yang berada di lokasi kerusuhan termasuk dalam kelompok anak yang memperoleh perlindungan khusus (AMPK), khususnya anak dalam situasi darurat. Sehingga pemerintah dan aparat hukum wajib mengedepankan penanganan yang cepat, perlindungan serta pendampingan psikososial sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.78 tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Anak. (Z-4)