24 August 2023, 17:31 WIB

Keseriusan Pemerintah Atasi Polusi Udara Belum Maksimal


Devi Harahap | Humaniora

MI/Usman Iskandar
 MI/Usman Iskandar
Polusi udara menyelimuti kawasan Kota Jakarta

DKI Jakarta sebagai tempat tinggal bagi lebih dari 10 juta orang telah tercemar oleh tingkat polusi udara yang tidak sehat selama beberapa bulan terakhir. Polusi tersebut mengubah langit menjadi abu-abu beracun hingga menjadikan Jakarta sebagai kota besar paling tercemar di dunia.

Polusi udara yang semakin memburuk di Jakarta itu meningkat ke kadar sekitar 17 kali lipat dari batas aman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Padahal, konstitusi menjamin bahwa setiap warga Negara berhak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Buruknya kualitas udara Jakarta dan sekitarnya membuat publik yang tergabung dalam sejumlah kelompok koalisi masyarakat sipil menggugat secara hukum dan mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menangani polusi udara.

Baca juga : Anggota DPR Sarankan Rencana Bertahap untuk Atasi polusi Udara

Pada putusan pencemaran udara tersebut, Majelis Hakim menyatakan bahwa pemerintah dinyatakan telah lalai menjalankan kewajiban dalam pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sehingga para penggugat mengalami kerugian berupa munculnya pelbagai penyakit yang berhubungan dengan pencemaran udara Jakarta.

“Pemerintah lamban dan tidak bergerak dengan cepat. Strategi-strategi yang dijalankan juga belum mampu memperhatikan bagaimana kebutuhan masyarakat terkait udara bersih. Itu isi gugatannya dan kenapa akhirnya digugat,” ujar Direktur Eksekutif WALHI Jakarta Suci F Tanjung dalam acara Hotroom bertajuk “Menggugat Hak Udara Sehat” yang dipandu Hotman Paris Hutapea, Rabu (23/8).

Baca juga : Pemprov Jakarta Tetapkan Denda Tilang Uji Emisi Rp500 Ribu

Sejalan dengan data dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) terkait peningkatan kualitas udara Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi (Jabodetabek), Suci mengatakan, sektor transportasi berkontribusi sebesar 44% dari penggunaan bahan bakar di Jakarta, diikuti industri energi 31%, lalu manufaktur industri 10%, sektor perumahan 14%, dan komersial 1%.

“Tetapi untuk yang sifatnya lintas batas, kami meyakini sumber pembangkit tenaga uap yang menggunakan sumber energi dari industri batubara, menjadi sumber polusi udara tertinggi di wilayah Jabodetabek,” ungkapnya.

Hakim dalam putusan tersebut telah mengabulkan gugatan masyarakat atas pencemaran udara yang diputus di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 16 September 2021 dan dikuatkan lagi oleh putusan Pengadilan Tinggi Jakarta pada 17 Oktober 2022.

Kasasi

Saat itu pihak tergugat, yakni Presiden, Gubernur DKI Jakarta, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat dinyatakan bersalah atas pencemaran udara di Ibu Kota.

Akan tetapi, alih-alih menjalankan keputusan pengadilan untuk bertanggung jawab menyelesaikan polusi udara, Presiden serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan masih mengajukan kasasi terhadap putusan itu pada awal Januari 2023.

“Kasasi itu sebagai salah satu cara menjawab dan menyampaikan kinerja apa saja yang sudah kami lakukan. Banyak langkah sudah dilakukan, bahkan isi gugatan yang disampaikan oleh masyarakat itu sudah dan sedang kami respon, jadi kami sedang melakukan langkah langkah untuk merespon gugatan tersebut,” ungkap Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani.

Rasio mengklaim bahwa pemerintah telah menjalankan beberapa kebijakan mitigasi untuk mengatasi permasalahan polusi udara seperti penerapan WFH (Work From Home) hingga memperketat baku mutu udara nasional melalui peraturan pemerintah.

“Selain WFH untuk para pekerja dan pelajar, kita juga merevisi ambang batas baku mutu udara ambien nasional yang sebelumnya adalah 65 mikrogram per nanometer kubik, saat ini telah kita perketat menjadi 50 mikrogram per nanometer kubik. Diharapkan bisa mencegah polusi agar tidak semakin buruk,” ungkapnya.

Kontraproduktif

Pengamat Kebijakan Publik Nur Hidayat mengatakan kasasi yang dilakukan pemerintah menandakan adanya sikap penyangkalan terkait faktor kualitas udara yang buruk ketika polusi udara di Jabodetabek dan kota-kota besar lainnya menjadi perbincangan publik.

“Pemerintah punya sumber daya yang begitu besar dengan kekuatan yang memaksa untuk membuat kebijakan publik mengatasi polusi udara ini. Jadi kalau pemerintah melakukan tindakan yang dampaknya begitu kecil, jelas masyarakat protes,” ungkapnya.

Bagi Nur Hidayat, sejumlah kebijakan dari pemerintah dianggap masih terkesan kontraproduktif. Selama ini, solusinya selalu berkaitan dengan mengintervensi masyarakat, seakan melupakan komponen lain penyebab polusi.

“Saya kira kebijakan WFH (Work From Home) bagi pekerja dan pelajar tidak bisa menyelesaikan persoalan umum. Pemerintah sudah tahu penyebab utama polusi berasal dari transportasi namun, artinya harus membereskan kebijakan transportasi publik secara menyeluruh, jangan hanya menyoroti masyarakat yang menggunakan transportasi pribadi. Bagi saya usaha pemerintah belum maksimal,” jelasnya.

Ketua Fraksi NasDem DPRD DKI Jakarta, Wibi Andrino mengatakan secara konstitusional, setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat. Hal ini dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Artinya, Negara wajib menjamin kondisi lingkungan hidup yang baik demi kesehatan masyarakat.

“Kami di DPRD Jakarta mengusulkan adanya panitia khusus untuk membuka fakta-fakta yang belum tersampaikan pada publik. Misalnya di Jakarta ini ada 26 juta kendaraan dengan hampir 100 juta perjalanan per hari di Jakarta apakah sudah layak? Kita coba galakkan kembali kebijakan uji emisi,” ungkapnya.

“Saat ini kita bisa buka posko layanan pengaduan bagi masyarakat terkait polusi udara dan beri pelayanan kesehatan bagi mereka yang terdampak pencemaran udara ini,” lanjutnya.

Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI Siti Nadia Tarmizi mengatakan polusi udara bukan suatu penyebab penyakit melainkan faktor risiko yang mengakibatkan adanya gangguan pernapasan.

“Udara yang tidak bersih membuat iritasi sehingga muncul peningkatan jumlah kasus asma. Penderita pneumonia atau infeksi paru juga meningkat 30,6% kemudian dengan orang penyakit TBC terjadi peningkatan hingga akut dan kronik lalu sesak nafas,” jelasnya.

Kendati demikian, Siti mengaku jajarannya telah berusaha untuk mengantisipasi dampak kesehatan masyarakat terhadap polusi udara melalui edukasi dan pelayanan kesehatan.

“Jumlah kasus ISPA di rumah sakit pada 2021 tercatat 50 ribu, tapi sampai dengan tahun 2023 meningkat sampai dengan 200 ribu hingga 300 ribu kasus. Antisipasi kami tentunya dengan memberikan informasi, edukasi dan pelayanan kesehatan,” imbuhnya.

Pakar Hukum Pidana, Jamin Ginting mengatakan dalam gugatan tersebut, pemerintah dinyatakan telah bersalah dan melanggar hukum serta diwajibkan untuk menjalankan gugatan sesuai dengan perintah pengadilan, bukan mengajukan kasasi dan memberi argumentasi.

“Harusnya pemerintah melaksanakan isi putusan bukan justru mengajukan kasasi, karena tindakan kasasi tersebut artinya tidak menerima hasil gugatan. Saya sarankan pemerintah untuk mencabut permohonan kasisi tersebut karena mencederai rasa keadilan dalam masyarakat yang selama ini berharap adanya tindakan konkret yang dilakukan pemerintah,” tandasnya. (Z-5)

BERITA TERKAIT