PEMERINTAH dinilai masih salah langkah dalam upaya mengendalikan polusi udara di Jabodetabek. Hal itu diungkapkan oleh Juru Kampanye Energi dan Iklim Greenpeace Bondan Andriyanu.
Pertama, mengenai solusi penanaman pohon. Menurut dia, tanpa adanya masalah polusi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memang sudah seharusnya memenuhi target 30% pembuatan ruang terbuka hijau. Terlebih lagi, menurut dia tidak semua pohon bisa menyerap 100% polusi yang dihasilkan di perkotaan.
“Mau menanam berapa banyak pohon agar polusi bisa dikendalikan? Artinya kalau pohon ditanam terus tapi polusinya tetap jalan, mau sampai berapa tahun menanam pohon? Grafiknya gak ketemu, itu,” kata Bondan saat dihubungi, Senin (21/8).
Baca juga : Menteri LHK akan Tertibkan PLTU, PLTD dan Perusahaan Industri Penyebab Polusi Udara
Selain itu, solusi kendaraan listrik yang ditawarkan pemerintah pun bukanlah jalan keluar. Pasalnya, dunia global menyatakan bahwa untuk mengurangi emisi, perlu dilakukan pengurangan PLTU. Nyatanya, saat ini masih banyak PLTU batu bara di Indonesia yang beroperasi.
“Meskipun banyak PLTU batu bara yang ditutup, banyak yang dikecualikan, misalnya untuk kepentingan industri. Jadi artinya harus membenahi sumber listriknya. Kalau kendaraan listrik, hanya memindahkan polusi dari asap kendaraan ke PLTU batu bara,” beber dia.
Baca juga : Tangani Polusi Jabodetabek, KLHK Sasar PLTU dan Kegiatan Pembakaran Terbuka
Selain itu, WFH juga bukanlah solusi. Meskipun sumber polutan PM2,5 sebanyak 64% dari transportasi, tapi polutan SO2 berasal dari industri sebanyak 64%.
“Jadi apa yang diselesaikan? Gak ada. Jadi solusi yang ada belum menyentuh akar masalah,” imbuhnya.
Menurut dia, penanganan polusi di Jabodetabek, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak bisa berdiri sendiri. Harus ada kolaborasi dengan pemerintah Jawa Barat dan Banten. Pasalnya, ada pencemaran udara lintas batas.
Mungkin, lanjut dia, Jakarta memang perlu mengendalikan polusi yang berasal dari transportasi, dan dari PLTU yang tersisa sedikit di wilayah Jakarta. Namun, pemerintah di luar Jakarta pun harus mengendalikan cerobong industri yang masih ada dan masuk ke Jakarta.
“PLTU batu bara, misalnya Januari, ketika angin muson barat ke timur, PLTU Suralaya itu masuk dan mencemari Jakarta. Jadi ada polutan masuk dari luar Jakarta, begitu juga sebaliknya,” tutup dia.
Climate Impact Associate Yayasan Indonesia Cerah Dita Farida menilai, solusi jangka pendek yang bisa dilakukan Jakarta ialah selain uji emisi kendaraan bermotor secara konsisten, perlu juga uji emisi cerobong asap di kawasan industri yang berada di wilayah Jakarta.
“Untuk solusi jangka panjang adalah melakukan sinergi dengan pemerintah wilayah sumber polusi udara terdekat. Atau sederhananya dengan menjalankan putusan gugatan warga negara dari PN Jakarta Pusat pada 16 September 2021,” tegas Diya. (Z-5)