BERITA duka menyelimuti dunia seni tanah air. Seorang maestro seni rupa, Djoko Pekik berpulang pada Sabtu, 12 Agustus 2023 pukul 08.19 di RS Panti Rapih Yogyakarta. Djoko Pekik meninggal di usia 85 tahun.
Dikutip dari arsip Indonesian Visual Art Archive (IVAA) di laman archive.ivaa-online.org/pelakuseni/djoko-pekik, Djoko Pekik lahir pada 2 januari 1937 di Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah. Ia mengenyam pendidikan formal bidang seni pada 1957-1962 di Akademisi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogjakarta.
Kemampuan awal Djoko melukis lebih banyak didapatkan dari Sanggar Bumi Tarung. Melalui sanggar tersebut, lukisan milik Djoko termasuk dalam lima besar lukisan terbaik di pameran tingkat nasional yang diadakan oleh LEKRA pada 1964.
Baca juga : Maestro Djoko Pekik Meninggal Dunia
Pada 1965-1972, Djoko sempat menjadi tahanan politik karena hubungannya dengan LEKRA, yang diasosiasikan dengan Partai Komunis Indonesia. Sebelum 1965, Djoko pernah beberapa kali menggelar pameran karyanya di Jakarta.
Setelah menjadi tahanan politik, Djoko kemudian vakum sampai 1990. Pada 1990, Djoko mulai memamerkan lagi karyanya di Edwin Galeri Jakarta.
Baca juga : Nuraeni HG dan Durhaka Seni Rupa Indonesia
Pada 1999, nama Djoko Pekik menjadi lebih dikenal setelah salah satu karyanya terjual seharga satu milyar rupiah (karya berjudul Berburu Celeng).
Karya Djoko Pekik masih sering menjadi obyek dalam berbagai pameran, antara lain pada pameran tunggalnya “Jaman Edan Kesurupan di Galeri Nasional (2013), dan pada “ARTJOG 9†di Jogja National Museum (2016).
Dalam pengantarnya di “Pameran tunggal Lukisan Djoko Pekik (Solo, 1993), Astri Wright, seorang pengamat seni lukis kontemporer Indonesia, menilai karya Djoko memiliki keunikan karena mengangkat tema yang berbeda dari kebanyakan pelukis dari masanya.
Tema yang sering diangkat Djoko Pekik berkaitan dengan kesulitan hidup. Selain itu, gaya ekspresionis Djoko terlihat sangat unik. Djoko dinilai terinspirasi oleh teknik-teknik dari Affandi, kemudian mengembangkannya menjadi tekniknya sendiri.
Djoko mencairkan cat minyak secukupnya, dan mengusapkannya ke kanvas dengan usapan yang lebar dan basah. Teknik “basah†yang digunakan Djoko tersebut menuntutnya untuk bekerja dengan cepat. Hal itu dilakukan karena jika sudah mengering, maka Djoko tidak dapat mendapatkan hasil seperti yang diinginkan.
Oleh karena itu, seringkali Djoko menyelesaikan lukisannya hanya dalam
sekali duduk. Dalam perkembangannya, selain mengangkat tema sosial, karya Djoko juga sering kali mengangkat tema tragedi politik.
Dalam pameran tunggalnya yang berjudul “Jaman Edan Kesurupan” (Jakarta, 2013), Djoko menampilkan 28 lukisan dan tiga patung yang dibuatnya pada periode 1964-2013. Karya Djoko yang dipamerkan mengilustrasikan proses perjalanan hidupnya sebagai seorang individu, seniman, dan warga negara.
Menurut kurator M. Dwi Maryanto, sang maestro menampilkan gerakan
rekonsiliasi seni melalui aktivitas seni. Melalui karya-karyanya, masyarakat diharapkan menjadi lebih toleran dan terbuka terhadap para eks tahanan politik, khususnya para seniman. (Z-5)