Penggunaan peci adalah lazim bagi masyarakat Indonesia. Mulai dari acara formal maupun lagi santai, laki-laki menggunakan penutup kepala peci adalah hal yang jamak.
Bila merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), peci adalah penutup kepala yang terbuat dari kain atau sebagainya. Peci biasanya berbentuk meruncing di kedua ujungnya dan biasanya digunakan oleh para pria. Nama lainnya adalah kopiah atau songkok.
Baca juga:Anies Baswedan Hadiri Rakernas PKS Hari Ini
Saat ini, peci sudah memiliki banyak varian. Selain peci hitam polos yang identik dengan Soekarno, ada juga peci putih yang biasanya digunakan untuk pergi haji, dan peci bulat yang terbuat dari rotan. Figur publik kini bisa memilih peci yang disesuaikan dengan gaya mereka masing-masing.
Baca juga: Survei Indikator: Prabowo Ungguli Ganjar dan Anies dengan Perolehan 32,7%
Saat pemilihan kepala desa sampai presiden, para kandidat hampir dipastikan memakai peci. Saat menjabat, para pria memakai peci dalam foto resmi.
Dari seluruh presiden dan wakil presiden Indonesia, hanya Megawati Soekarnoputri saja yang tidak pakai peci saat foto resmi. Mulai dari Presiden Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo semua memiliki foto resmi dengan mengenakan peci.
Baca juga: Dari Soekarno hingga Jokowi, Ini Biodata Lengkap Presiden Indonesia dan Wakilnya
Adapun di jelang Pemilihan Presiden (Pilpres 2014), semua kandidat seperti Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan juga memiliki foto yang sedang mengenakan peci.
Baca juga: Pencapresan Ganjar Disebut Selaras dengan Spiritual Jawa
Selain di kalangan pejabat kenegaraan, dalam acara keluarga juga tidak jarang para hadirin pria menggunakan peci. Ada yang memadumadankan dengan jas. Ada juga yang dengan kemeja atau kaos semata.
Peci memang bukan asli dari Tanah Air Indonesia. Akan tetapi, bagaimana bisa penggunaannya begitu merakyat?
Bahkan, Peraturan Presiden Nomor 71 tahun 2018 tentang Tata Pakaian pada Acara Kenegaraan dan Acara Resmi telah menyatakan peci nasional sebagai bagian dari pakaian sipil nasional yang dapat digunakan dalam acara kenegaraan dan acara resmi.
Jadi identitas nasional
Rapat Jong Java di Surabaya, Juni 1921, diyakini menjadi titik awal penggunaan peci sebagai identitas bangsa. Saat itu, Soekarno melihat rekan-rekannya berdebat tanpa penutup kepala.
Di mata Soekarno, banyak rekan-rekannya yang merasa menjadi bagian dari kaum terpelajar yang merasa terhina menggunakan blangkon yang biasa dipakai orang Jawa dan peci yang biasa dipakai tukang becak dan rakyat jelata lainnya.
Baca juga: Yudi Latif Ingatkan Pentingnya Pembangunan Karakter Bangsa
"Salah satu daripada egoisme ini adalah berkat suksesku dalam pemakaian peci, kopiah beludru hitam yang menjadi tanda pengenalku, dan menjadikannya sebagai lambang kebangsaan kami. Pengungkapan tabir ini terjadi dalam pertemuan Jong Java, sesaat sebelum aku meninggalkan Surabaya," sebut Soekarno.
Walapun, Soekarno bukan tokoh intelektual pertama yang mengenakan peci. Pada 1913, ketika tiga serangkai, Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara, dalam rapat Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP), mereka sudah mengenakan penutup kepala sebagai identitasnya. Tjipto saat itu menggunakan kopiah dari beludru hitam.
Baca juga: Ideologi Pancasila dan Islam Miliki Hubungan Kelekatan
Akan tetapi, pertemuan Jong Java pada 1921 itu menjadi penampilan Soekarno mengenakan peci pertama kali di hadapan publik. Setelah itu, Soekarno menjadi figuryang memadukan pengenaan peci dengan jas. Padahal, peci saat itu identik dengan masyarakat kecil dan miskin yang tidak bisa mengenakan jas.
Soekarno mengakui bahwa peci bukanlah asli dari Indonesia. Akan tetapi, peci menjadi simbol perjuangan menuju kemerdekaan. "Kita memerlukan suatu lambang daripada kepribadian Indonesia. Peci yang memberikan sifat khas perorangan ini, seperti jang dipakai oleh pekerja-pekerja dari bangsa Melayu, adalah asli kepunyaan rakyat kita. Namanja malahan berasal dari penakluk kita. Perkataan Belanda 'pet' berarti kupiah. 'Je' maksudnja kecil. Perkataan itu sebenarnya 'petje'. Hayolah saudara-saudara, mari kita angkat kita punya kepala tinggi-tinggi dan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka."
Kopiah BK
Sumatra Barat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah perjuangan Bung Karno. Sejarah mencatat, kedekatan masyarakat Sumatra Barat dengan sosok Bung Karno tidak terelakan hingga saat ini. Kisah penamaan 'kopiah BK' hingga peristiwa Bung Karno yang diminta berpidato di atas Kereta Api saat dalam perjalanan ke Bukittinggi menjadi bukti menyatunya rakyat Sumatra Barat dengan Bung Karno.
Baca juga: Mat Peci Sangat Dihormati Warga di Terminal Poris Plawad
Menurut Ketua Yayasan Pusat Kebudayaan Minangkabau Hasril Chaniago, kedekatan Bung Karno dengan Sumatra Barat karena Bung Karno aktif menyerap aspirasi dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh Sumatra Barat. Bahkan, hingga saat ini, nama Bung Karno masih melekat di hati masyarakat Sumatra Barat, contohnya penyebutan peci dengan nama kopiah BK.
“Masyarakat Sumatra Barat merasa memiliki kesatuan dengan sosok Bung Karno. Beberapa sejarawan mencatat, Bung Karno dalam perjalanan kereta api dari Padang menuju Bukittinggi, kereta api Bung Karno berhenti di Padang Panjang. Di sana, Bung Karno diminta untuk berpidato dari atas kereta api untuk menggelorakan semangat perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia” tutur Hasril dalam siniar Bung Karno Series 3 yang tayang di kanal Youtube BKN PDI Perjuangan pada Selasa (20/6/2023).
Baca juga: Rumah Kelahiran Bung Karno di Surabaya Dibuka jadi Objek Wisata
Menurut dia, barangkali nasib yang kemudian mengantarkan Bung Karno dekat dengan Sumatra Barat. Pada 1938, Bung Karno dipindahkan ke Bengkulu dari Ende. Di situlah, kata dia, awal mula interaksi Bung Karno dengan masyarakat Sumatra Barat.
Dalam masa pengasingannya di Bengkulu, lanjut Hasril, Bung Karno menimba ilmu agama dari seorang tokoh pemuka agama kelahiran Padang bernama Buya Hasan Din. Dari Buya Hasan Din, Bung Karno diperkenalkan dengan sosok mualaf bernama Karim Oei, yang kemudian membawanya pada perkenalan dengan Buya Hamka.
“Melalui bantuan dari Karim Oei, Bung Karno mengundang Buya Hamka untuk berkunjung ke Bengkulu. Dalam pertemuannya dengan Buya Hamka, Bung Karno bertukar pikiran tentang perjuangan Indonesia merdeka dan konsep dasar-dasar negara,” tutur budayawan Sumatra Barat tersebut.
Baca juga: Mengenal Tugas dan Anggota Panitia Sembilan
Hasril menyampaikan, ketika Jepang pertama kali masuk ke Indonesia, beberapa tokoh Indonesia termasuk Bung Karno akan diungsikan ke Australia oleh Belanda. Akan tetapi, kejadian inilah yang kemudian membawa Bung Karno semakin dekat dengan masyarakat Sumatra Barat.
“Ketika Bung Karno hendak dibawa ke Teluk Bayur oleh pasukan Belanda, Jepang telah sampai di Padang. Pasukan pengawal Belanda lari kocar-kacir. Tinggalah Bung Karno dan rombongannya di Painan. Keberadaan Bung Karno tersebut diketahui oleh para pejuang kemerdekaan dari Sumatra Barat. Akhirnya, Bung Karno dijemput dan dibawa menuju Padang dengan pedati,” jelas penulis buku Sumatra Barat di Panggung Sejarah tersebut.
Baca juga: Kartini dan Sukarno: Feminis Pancasila
Hasril menambahkan, semasa di Padang, semangat perjuangan Bung Karno semakin menggelora dan aktif membangun gerakan diskusi dan menyerap aspirasi dari tokoh masyarakat Sumatra Barat.
“Dalam suatu kesempatan, Bung Karno berkunjung ke Madrasah Darul Funun El Abbasiyah, di Padang Japang. Beliau bertemu dengan sosok Syekh Abbas Abdullah. Di sana, Bung Karno bertukar pikiran tentang dasar negara apabila telah merdeka, kemudian diusulkanlah oleh Syekh Abbas bahwa Indonesia merupakan bangsa dengan masyarakat beragama, maka dasar utamanya ialah Ketuhanan,” ungkap dia.
Baca juga: Pengamat Connie Bakrie: Ada Titik Kesamaan Pemikiran Soekarno dan Putin
Hasril menuturkan, dalam pertemuannya dengan Syekh Abbas, Bung Karno kemudian dihadiahi sebuah peci dengan dimensi yang lebih gagah.
“Peci yang dihadiahkan oleh Syekh Abbas kepada Bung Karno berukuran lebih tinggi, lebih gagah, berbeda dengan peci Bung Karno sebelum-sebelumnya. Peci inilah yang kemudian melekat dengan sosok Bung Karno. Bahkan, bagi masyarakat Sumatra Barat hingga saat ini ketika menyebut peci, mereka menamai dengan kopiah BK,” jelas Hasril. (X-7)