Kantor Staf Presiden (KSP) ingatkan perlunya rasa sensitif terhadap hak kebebasan beragama dan supremasi hukum saat pembelajaran di sekolah. Tenaga Ahli Utama KSP Siti Ruhaini Dzuhayatin meminta para guru mewaspadai perilaku intoleransi yang kadang dianggap lazim oleh masyarakat.
"Pemanfaatan di ruang publik harus sama antara agama dan keyakinan berbeda, gender berbeda, ras berbeda. Ini penting sekali kita sampaikan kepada anak-anak didik kita," kata Ruhaini dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (18/3).
Tantangan menjaga kemajemukan, kata Ruhaini, kian kompleks dengan masifnya media sosial yang berpotensi sebagai sarana menyuburkan diskriminasi dan stigmatisasi.
Baca juga: PMN Jabar Dorong Milenial Sukabumi Jaga Persatuan Bangsa
Guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga itu mengutip Dokumen UNESCO Tolerance: The Threshold of Peace, mengungkapkan sejumlah gejala intoleransi. Gejala itu antara lain bahasa yang merendahkan, stereotip, menggoda atau mengejek, prasangka, mengambinghitamkan, pengasingan, diskriminasi, dan segregasi atau pemisahan paksa orang-orang dari berbagai ras, agama, jenis kelamin, biasanya merugikan satu kelompok termasuk apartheid.
Menurutnya, mengembangkan kemampuan guru dalam memahami Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) bisa dijadikan salah satu upaya untuk menumbuhkan rasa sensitivitas ketika menghadapi hal tersebut.
Baca juga: Pameran Pendidikan Tinggi Taiwan Sukses Digelar di Tiga Kota
Ada tiga kompetensi LKLB yakni mendorong seseorang memahami agamanya sendiri terutama dalam relasinya dengan orang yang berbeda agama (kompetensi pribadi), mengenal agama lain dan pandangan agama tersebut terhadap orang yang berbeda agama (kompetensi komparatif), serta mencari titik temu agar dapat berkolaborasi dengan orang yang berbeda agama (kompetensi kolaboratif).
"Kebebasan beragama bukan berarti bebas seenaknya melainkan harus berpedoman kepada supremasi hukum. Itulah sebabnya, narasi-narasi LKLB juga dibutuhkan sebagai pintu masuk untuk menegakkan supremasi hukum," ujarnya.
Direktur Penguatan dan Diseminasi HAM Kemenkumham Sri Kurniati Handayani Pane mengakui keragaman di Indonesia seringkali menumbuhkan konflik dan kekerasan. Oleh sebab itu, pendidikan harus mampu mendorong etika membangun konsensus dalam masyarakat. Dengan demikian, kesadaran multikultural harus dibangun dengan semangat empati, kesetaraan, dan toleransi kepada peserta didik.
"Tidak boleh satu kelompok mendominasi dan melanggar hak kelompok yang lainnya. Kelompok mayoritas tidak boleh melakukan hegemoni kepada kelompok minoritas. Semua ini menjadi penting dalam pendidikan sehingga tidak ada diskriminasi atas dasar ras, etnis, agama maupun gender," ujarnya. (Ant/Z-3)