07 February 2023, 09:30 WIB

Ekshibisionisme Makan Korban 17 Anak di Jambi Bukti Anak Rentan Dunia Pornografi


Indrastuti | Humaniora

ANTARA/ASPRILLA DWI ADHA
 ANTARA/ASPRILLA DWI ADHA
Sejumlah relawan membawa poster saat penandatanganan petisi perlindungan anak di Sarinah, Jakarta, Minggu (8/1/2023). 

FENOMENA gunung es kejahatan seksual anak masih terus terungkap dengan kasus yang makin beragam, bahkan ada di antaranya, pelaku adalah anak di bawah umur. Terakhir, peristiwa 17 anak (8 sampai 14 tahun) dipaksa menonton aksi tak pantas oleh suami istri pemilik rental PS di Jambi.

Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengatakan, hal tersebut menjadi salah satu bukti kekhawatiran berbagai pihak bahwa masih banyak anak di bawah umur dipaksa untuk masuk dunia pornografi.

"Usia tumbuh kembang yang masih sangat belia sudah terpapar pornografi dan porno aksi. Tentu ini sangat mengerikan ya, anak anak mengalami hal tersebut, Karena kedepan anak rentan menjadi korban kembali bahkan menjadi berhadapan dengan hukum," kata Jasra ketika dihubungi, Senin (6/2).

Baca juga: Presiden Dorong NU Beri Kontribusi Besar pada Dunia

Jasra menjelaskan, 11 anak sudah didampingi oleh UPTD PPA Proponsi Jambi bersama Balai Al Yatama Kemensos melalui pekerja sosial. Rencananya, akan dilanjutkan asesmen kepada 6 anak korban tambahan.

"Kita berharap orang tua memeriksa anak anaknya di kawasan slum area. Karena jika tidak mendapatkan penanganan segera, anak-anak bisa berperilaku salah dan terjebak pada perosalan hukum. Untuk itu sangat penting memastikan pendampingan dan pemulihan panjang sampai tuntas," ujarnya.

Alat permainan seperti PS, lanjutnya, dapat menjadi alat efektif bujuk rayu dalam melancarkan kejahatan seksual pada anak. Dari assessmen anak oleh UPTD PPA, terungkap tindakan pelaku yang mengancam anak, dengan harga sewa PS-nya dinaikkan. Namun ada juga anak anak yang dibiarkan bermain lewat waktu, yang kemudian meminta pertanggungjawaban anak-anak. Alih alih meminta pertanggungjawaban justru pelaku melancarkan aksi ekshibisionisme kepada 17 anak tersebut.

"KPAI sudah melakukan koordinasi dengan P2TP2A Privinsi Jambi agar melakukan pendampingan psikis bagi korban serta rehabilitasi secara tuntas. Karena daerah punya tantangan memenuhi multi layanan sebagaimana yang dimandatkan UU TPKS dan UU Pembagian Kewenangan antara Pemerimtah Pusat dan Pemerintah Daerah," jelas Jasra.

Ia menegaskan, orang tua dan para pendamping punya tugas penting menjaga kondisi 17 korban anak tersebut untuk pembuktian proses hukum mengingat hak tersebut tidak mudah bagi anak-anak.

"Kita berharap ada edukasi dan pelajaran buat kita semua, karena terungkapnya cukup telat ya setelah 3 bulan. Dengan 17 korban," tuturnya.

Edukasi

KPAI, lanjut Jasra, menyoroti sejumlah hal terkait kasus kejahatan seksual anak. Pertama, pentingnya mengenalkan pendidikan kespro, kedua edukasi perlakuan salah pada tubuh anak apa yang boleh dan dilarang, ketiga pentingnya anak di ajak mau bercerita bila mengalami kejahatan atau kekerasan seksual. Keempat, kesadaran dalam mengambil peran perlindungan anak di daerah padat. "Setiap orang terdekat anak di tempat peristiwa punya peran penting perlindungan anak, sekecil apapun peran mereka. Ini yang harus jadi gerakan bersama di kawasan slum area ini," jelasnya.

Selain itu, perlu ada yang dimandatkan di daerah slum area dalam memastikan ruang bermain aman dan ramah anak. Jasra mencontohkan agar setiap tempat bermain anak menyediakan pengumuman Safe Child Guarding yang berisi tidak mentoleransi kekerasan, pemaksaan dalam bentuk apapun kepada anak dan bila terjadi dapat menghubungi aparat setempat.

"Saya kira ini jadi prasyarat dan informasi terbuka di setiap bisnis yang mengajak anak. Jadi tidak ada ruang dalam segala bentuk tindakan, baik perkataan, fisik dan psikis. Kita berharap aparat terdekat mensosialisasikan ini, ditempat anak bermain. Dan tentu juga membatasi waktu buka dan tutup.

KPAI juga mendorong agar tempat yang membuka layanan anak untuk meningkatkan standar keamanan, memiliki prasyarat kesediaan di cek aparat setempat secara berkala, seperti tempat layanan yang terbuka, memberi jam atau waktu pembukaan layanan rental PS, karena terkait aktivitas anak sekolah, belajar dan ibadah dilingkungan tersebut. Tujuannya, agar situasi di rumah, dil ingkungan, di tempat bermain PS atau yang lainnya bisa saling mendukung dan tidak lalai membiarkan kekerasan terus terjadi.

KPAI juga mengingatkan adanya stigma terhadap anak yang sering main game atau terpapar kecanduan game, jangan sampai menyebabkan kelalaian pengawasan. "Harusnya dengan tahu game bisa membuat candu, maka perlu didampingi, dimaknai, diawasi dam lebih sensitif karena melibatkan anak dalam bisnisnya. Saya kira lingkungan dalam situasi apapun jangan sampai tidak hadir perlindungan anak, meski dengan hanya menempelkan Safe Child Guarding, menjadi Pelopor dan Pelapor," ujarnya..

Ia menekankan, sebanyak apapun regulasi tentang isu penyelenggaraan perlindungan anak, ketika tidak ada yang merasa bertanggung jawab mengingatkan, mengawasi, maka akan sulit memastikan jaminan perlindungan anak yang diharapkan negara terjadi dimanapun anak berada. (H-1)

BERITA TERKAIT