SETIAP perayaan hari besar agama maupun etnis, sebagian dari masyarakat barangkali akan mudah menemui berbagai macam perdebatan. Semisal tak perlu soal sejauh mana toleransi dan menghargai hari besar umat dan etnis lain.
Tidak terkecuali saat perayaan Imlek 2023 beberapa hari lalu juga tidak luput dari perselisihan dan sentimen kebencian etnis di tengah kebinekaan bangsa. Padahal, perayaan Imlek di Indonesia sejatinya merupakan salah satu bentuk rekognisi dan afirmasi negara terhadap keberagaman.
Seperti dikatakan oleh Ketua Umum Persatuan Umat Budha Indonesia (Permabudhi) Philip Kuntjoro Widjaja. Ia menilai bahwa sejatinya sentimen-sentimen kebencian terhadap suku, agama, atau etnis tertentu sangat jauh dari spirit perayaan Imlek. Karena, Imlek sejatinya membawa makna dimulainya lembaran baru, harapan, dan kesuksesan khususnya bagi bangsa Indonesia yang beragam.
"Dari tahun ke tahun sama sebetulnya, Imlek bermakna penting dimulainya tahun baru, lembaran baru, harapan baru dan untuk kesuksesan berikutnya. Jadi spirit dan makna itu kita bawakan dari tahun ke tahun kita rayakan dan kita bawa agar setiap tahun membawa harapan baru, mendapatkan spirit baru dan semangat kerja keras mewujudkan harapannya," ujar Philip Widjaja di Jakarta, Sabtu (28/1).
Dia melanjutkan bahwa perayaan Imlek pada dasarnya merupakan momen perayaan suka cita kebangsaan, yang juga bisa ikut dirayakan oleh seluruh masyarakat Indonesia terlepas dari perbedaan suku, ras, dan agama yang begitu kental mengisi keutuhan bangsa ini.
"Imlek tidak tertuju pada agama tertentu. Setiap suku, agama, dan ras boleh-boleh saja merayakan Imlek, sebagaimana perayaan tahun baru Masehi, semua orang boleh merayakan. Jadi bisa dibilang Imlek ini momen sukacita untuk seluruh masyarakat Indonesia," jelas pria yang juga merupakan tokoh keturunan Tionghoa ini.
Meski demikian, Philip tidak menampik bahwa masih banyak bergulir fenomena diskriminasi dan sentimen rasis baik secara langsung maupun di dunia maya yang kerap dihembuskan orang ataupun kelompok intoleran dan ekstremis yang seakan alergi terhadap keragaman.
Baca juga: Jadikan Imlek Momentum Perayaan dan Suka Cita Kebangsaan
"Saya kira pada tahun berikutnya akan masih terus bergulir (sentimen dan narasi rasisme), dan isu ini dan selalu digunakan untuk kepentingan tertentu yang perlu menggulirkan ini yang dulu kita sebut SARA. Karena suku dan agama itu adalah isu yang gampang sekali digulirkan," katanya.
Sehingga pria lulusan dari Kennedy Western University itu menilai setidaknya ada 3 faktor yang berpengaruh terhadap daya tangkal masyarakat yang kerap mudah terprovokasi oleh narasi intoleran yang memecah belah.
"Pendidikan, kesejahteraan, dan ketersediaan lapangan pekerjaan. Tentunya tiga hal ini, karena 'sekamnya' kalau kering semua, kalau pendidikan kurang, pemahaman juga kurang, perutnya lapar, itu mudah sekali disulut dengan api. Tapi kalau kita selalu membasahi sekamnya, saya yakin efek negatifnya akan lebih kecil," tutur pria yang aktif sebagai Presidium Inter Religous Council (IRC) yang merupakan organisasi beranggotakan para pimpinan dari enam agama.
Oleh karena itu, menurut dia, semua pihak termasuk pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat serta media harus turut bertanggung jawab guna menyelamatkan bangsa dan memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya menjaga keutuhan bangsa dari upaya-upaya memecah belah.
"Jadi ini juga sebetulnya tanggung jawab setiap orang, pemerintah, media juga, jadi ya bersama-sama kalau kita semua punya niat bersama-sama. Kita ciptakan supaya menuju titik yang lebih baik, sehingga kita tidak lagi melakukan pertikaian terus-terusan. Kita punya konsentrasi dan fokus bersama bagaimana membangunan negeri ini," ujarnya.
Tidak hanya itu, Philip juga menjelaskan bagaimana Permabudhi selama ini melakukan upaya nyata mewujudkan bangsa yang bebas diskriminasi dan intoleransi melalui program yang simultan dan berkelanjutan, serta bersama dengan segenap umat agama lainnya membentuk manusia yang unggul dan berakhlak. (RO/OL-16)