KEMENTERIAN Kesehatan (Kemenkes) telah menetapkan Kejadian Luar Biasa (KLB) atas tingginya penularan campak di Indonesia. Hingga Desember 2022, tercatat 31 provinsi melaporkan adanya kasus penularan campak
Plt. Direktur Pengelolaan Imunisasi Ditjen P2P Kemenkes, dr. Prima Yosephine, MKM mengatakan bahwa pemerintah memang sudah melakukan intervensi dengan meningkatkan cakupan vaksinasi. Akan tetapi, pihaknya juga tetap mendorong orang tua untuk bekerja sama dengan segera melengkapi vaksinasi campak pada anak. "Pemerintah tetap menyerukan agar orang tua segera melengkapi imunisasi rutin anak balitanya, termasuk imunisasi campak," ujarnya kepada Media Indonesia, Senin (23/1).
Dijelaskannya, status KLB Campak yang dirilis adalah status sepanjang tahun 2022 yang lalu. Sehingga KLB ini terjadi tidak serentak di setiap daerah dan pemerintah daerah pun melakukan jemput bola untuk meningkatkan cakupan vaksinasi.
Status KLB dinyatakan oleh pemerintah daerah. Dan sejauh ini ditangani sesuai dengan prosedur, yaitu dilakukan penyelidikan epidemiologi (PE) untuk menganalisa penyebaran kasus, penatalaksanaan kasus, pemberian imunisasi tambahan pada anak-anak di sekitar kasus sesuai hasil PE dan penguatan surveilans campak. "Campak merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) yang paling cepat menyebar," imbuhnya.
Menurutnya, respons pemerintah terhadap naiknya kasus campak sudah dilakukan sejak tahun 2022 dengan meningkatkan cakupan vaksinasi. Sebab, selama masa pandemi, terjadi penurunan yang cukup signifikan terhadap vaksinasi campak.
"Sebenarnya pemerintah sudah melakukan intervensi dengan melakukan Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) yang dimulai pada Mei 2022 sd Okt 2022. Namun memang capaiannya belum dapat mencapai target terutama untuk provinsi di luar Jawa Bali," kata dia.
Sementara itu, Guru Besar Pendidikan Kesehatan Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K)., Ph.D. menyebut bahwa pandemi menjadi salah satu penyebab meningkatnya kasus campak. Sebab, pemerintah fokus pada pengendalian covid-19 dan pelayanan kesehatan primer lainnya kemudian ikut terganggu.
"Di awal memang karena covid layanan esensial terganggu, karena SDM fokus pada layanan covid dan juga karena PPKM. Setelah itu karena fasilitas juga fokus pada layanan vaksin covid. Sempat suplai vaksin rutin terganggu (terkait cold chain dll). Selain dari sisi provider juga dari sisi masyarakat pada beberapa daerah vaksin hesitancy juga meningkat," jelasnya.
Untuk itu, Rektor UGM itu mendorong pemerintah untuk menjemput bola, menyisir anak-anak yang belum menerima vaksinasi. Langkah tersebut penting selain juga dukungan dari orang tua. Sebab, terganggunya vaksinasi campak karena pandemi perlu direspons dengan strategi berbeda.
"Ya vaksinasi harus kembali digalakkan karena memang untum memproteksi. Kalau balita banyak kena infeksi tentu akan mengganggu tumbuh kembangnya, yang bisa juga menyebabkan naiknya stunting. Pemerintah dan orang tua, ya dua-duanya harus dilakukan agar meningkatkan cakupan," tandasnya.(H-1)