PRAKTIK perbudakan rupanya masih berlangsung di Indonesia seperti ditampakkan dari para pekerja rumah tangga (PRT) yang belum mendapatkan keadilan dan kerap diperlakukan tidak manusiawi.
Berdasarkan data dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) dan Koalisi Sipil untuk UU PPRT, sepanjang 2017-2022 masih banyak kasus kekerasan yang terjadi pada para PRT.
Sebanyak 2.637 PRT mengakui bahwa mereka mendapatkan kasus kekerasan, di antaranya 1.148 kasus kekerasan ekonomi berupa tidak dibayarkannya upah, 1.382 kasus kekerasan psikis seperti penyekapan, 1.027 kasus kekerasan fisik, 831 kasus kekerasan seksual, dan 1.487 kasus tindak perdagangan orang oleh penyalur.
Perwakilan Serikat Pekerja Rumah Tangga, Yuni bercerita bahwa para PRT saat ini sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Banyak kejadian yang telah dia alami selama 12 tahun semasa dia bekerja sebagai PRT.
"Saya pernah mengantarkan anak majikan ke sekolah. Di sana saya tidak boleh duduk di sebuah kursi yang kosong karena saya hanya seorang PRT. Penjaga sekolah bilang saya harus berdiri, yang boleh duduk hanya majikan," ungkapnya dalam Diskusi bersama Pemerintah, DPR, CSO, dan Media terkait RUU PPRT di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan, Jakarta, Jumat (30/9).
Upaya untuk melindungi PRT sebetulnya sudah digalakkan melalui Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang menjadi inisiatif DPR RI. Namun, selama 18 tahun, RUU PPRT tak kunjung dibahas di Rapat Paripurna. Hanya menggantung begitu saja.
Meskipun demikian, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Willy Aditya memastikan bawa RUU PPRT akan segera masuk sebagai Prolegnas dan akan menjadi pembahasan prioritas sehingga bisa segera masuk ke Rapat Paripurna.
"Secara mekanisme RUU sudah selesai tinggal dimasukkan paripurna. Mayoritas fraksi juga menyatakan sepakat," kata Willy.
Lebih lanjut, menurutnya hal yang akan diatur dalam RUU PPRT ini terkait kepastian hukum bagi semua warga negara termasuk PRT. Mereka dikatakan rentan mendapatkan diskriminasi dan kekerasan.
Dalam RUU PPRT, akan terdapat dua klaster untuk yakni klaster PRT yang direkrut langsung oleh pemberi kerja dan PRT yang direkrut tidak langsung atau melalui yayasan.
"Dari klaster kedua ini harus kita lihat secara detail. Selama ini penyalur bentuknya yayasan, harusnya badan usaha. Yayasan rentan mengalami human trafficking. Jadi harus didorong badan usaha. Proses perizinan juga masih provinsi, harusnya kabupaten dan kota sehingga pengawasannya lebih terlihat," tuturnya.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edwar Omar Sharif Hiariej mengatakan setidaknya ada 5 hal utama yang terkandung dalam RUU PPRT. Pertama ialah kesadaran masyarakat akan PRT sebagai suatu bidang pekerjaan.
"Karena UU Ketenagakerjaan tidak meliputi PRT ini," ucap Edwar.
Kedua, entitas hukum PRT dikatakan bukan hal yang baru di Indonesia. Sebetulnya perlindungan terhadap PRT dikatakan telah berada pada UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Ketiga, mencoba untuk memisahkan PRT yang direkrut secara langsung dan PRT yang direkrut oleh pihak ketiga. Dalam kaitannya untuk PRT yang direkrut secara langsung ada proses perjanjian antara kedua belah pihak. Sementara untuk pihak ketiga, akan dilakukan kontrol terhadap pihak ketiga tersebut.
"Keempat legalitas terhadap RUU PPRT ini menjadi prinsip timbal balik. Ketika kita kirimkan TKI ke luar negeri sebagai pekerja domestik, kita tuntut hak dari a-z. Tapi negara dituju akan bertanya ada UU yang mengatur terhadap hak yang diminta atau tidak. Jadi ini prinsip utama dalam hubungan antar negara dalam konteks hukum internasional," tegasnya.
"Kalau kita enggak punya instrumen hukum yang memberikan kepastian perlindungan terhadap pekerja domestik, kita jangan salahkan negara lain. Kalau kita sudah punya instrumen hukum untuk melindungi PRT kita bisa menuntut negara lain sesuai yang kita berlakukan di negara sendiri," sambung Edwar.
Kelima, sesuai dengan namanya yakni perlindungan, maka RUU PPRT ini memberikan kepastian terhadap hak dan kewajiban terhadap para PRT.
Menurutnya, RUU PPRT hanya berisikan 12 bab dan 37 pasal. Regulasi ini dikatakan sangat sederhana tapi dibutuhkan untuk memberikan perlindungan terhadap warga negara yang berstatus sebagai PRT.
Sekretaris Jenderal Kemnaker, Anwar Sanusi meminta agar RUU PPRT untuk segera dijadikan produk hukum yang akan menjadi landasan untuk mengatur ketenagakerjaan terutama yang bergerak di sektor domestik atau dikenal PRT.
Menurutnya, harus ada kejelasan hukum atau kepastian hukum yang akan akan dijadikan pegangan bagi pemerintah untuk menyelesaikan persoalan PRT. Perlindungan ini juga nantinya dikatakan akan berlaku bagi para pekerja migran Indonesia (PMI).
"RUU PPRT ini punya dasar yang digunakan secara jelas yaitu UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak mendapat pekerjaan yang layak dan sesuai hak asasinya sebagai manusia," pungkas Anwar. (H-2)