02 September 2022, 09:00 WIB

KPAI: Penanganan Kejahatan Seksual di Sekolah Seperti Pemadam Kebakaran


Dinda Shabrina | Humaniora

ANTARA/Maulana Surya
 ANTARA/Maulana Surya
Ilustrasi

KOMISIONER Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra mengatakan penanganan kasus kejahatan seksual terhadap anak di sekolah layaknya pemadam kebakaran. Ia mengkritisi melempemnya implementasi Permendikbud No.82 tahun 2015 yang semestinya bisa mencegah terjadinya kekerasan seksual di sekolah.

“Kasus kekerasan seksual di sekolah itu seperti pemadam kebakaran. Ketika ada kasus baru terkaget-kaget. Heboh semua. Padahal dalam Permendikbud 82 tahun 2015 itu, setiap sekolah wajib ada Satgasnya. Persis seperti yang diamanahkan dalam Permendikbud 30 tahun 2021. Kan kalau ada satgas, pencegahan itu bisa dilakukan,” ujar Jasra kepada Media Indonesia, Kamis (1/9).

Baca jugaMenag: Ibadah Haji 2022 Tolok Ukur Pelaksanaan Tahun Depan

Seperti kasus yang terjadi di SMP negeri di Batang. Seorang guru agama berusia 33 tahun yang diduga mencabuli 30 siswinya. Jasra menilai, kasus serupa yang juga terjadi di sekolah lain akibat dari tidak seriusnya Dinas Pendidikan serta pemerintah daerah yang tidak serius menjalankan amanah dari permendikbud yang telah ada.

“Makanya kita sedang evaluasi ini, Permendikbud 82 itu tidak efektif di satuan pendidikan,” kata Jasra.

KPAI bersama Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), kata Jasra saat ini tengah mengupayakan pendampingan psikis korban serta pendampingan hukum. “Dinas PPPA ini memiliki tenaga psikolog dan lawyer terkait anak-anak yang berhadapan dengan hukum dalam hal ini sebagai korban. Jumlah yang melapor sebetulnya ada 7. Tapi ini bisa bertambah. Berdasarkan informasi, katanya ada sekitar 30 orang korban yang teridentifikasi. Sejauh ini yang melapor 7 orang dan yang divisum ada 4 orang,” jelas Jasra.

Komisioner KPAI itu mengungkapkan pelaku guru di SMP Batang itu bisa saja dikenai hukuman mati jika dilihat dari kejahatan yang dilakukannya. Pidana mati hanya dapat dijatuhkan apabila pelaku tindak pidana yang diatur dalam Pasal 76D Undang-Undang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah terakhir melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2016, jika terpenuhinya syarat-syarat tertentu seperti korban lebih dari satu orang, korban mengalami luka berat, korban mengalami gangguan jiwa, korban menderita penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi dari korban, dan/atau korban meninggal dunia.

“Saya kira kasus Batang ini, kalau syaratnya mencukupi, karena korbannya diduga sampai 30 anak. Syaratnya cukup, apabila aparat hukum menerapkan UU 17/2016 itu ya,” papar dia.

Baca jugaKemendikbudristek Buka Seleksi PPG Prajabatan 2022

Jasra meminta agar Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim segera fokus untuk menyoroti 3 dosa pendidikan yang pernah disebutkannya, yakni perundungan, pelecehan seksual dan intoleransi. Ia meminta agar Kemendikbud-Ristek dapat mengoordinasikan kepada pemerintah daerah untuk membentuk Satgas yang terintegerasi.

“Selama ini ketika korban berjatuhan, baru kita berteriak. Cenderung negara terlambat untuk menangani atau mencegah kasus-kasus seperti ini. Karena ini kan bukan kasus sehari dua hari, ini bisa saja sudah berlangsung lama. Kok bisa nggak diketahui setelah korban berjatuhan yang begitu banyak,” ungkap Jasra.

Di masa kembalinya anak-anak belajar tatap muka, Jasra mengharapkan agar keamanan dan kenyamanan anak untuk belajar diutamakan. Ia menyayangkan kasus kekerasan seksual di sekolah semakin hari semakin marak terjadi.

“Kita sudah punya Perpres terbaru nomor 101 tahun 2022 tentang Strategi Nasional Penanganan Kekerasan Seksual, saya kira harus dilihat seperti apa, normanya bagaimana, programnya seperti apa, dukungan aparaturnya bagaimana, pelayanan kasusnya bagaimana. Kalau masih ada gap, ada bolong-bolong harus segera dicarikan jalan keluar. Jangan dibiarkan. Sehingga anak-anak kita jadi korban,” pungkas Jasra.

Sementara itu, Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Nahar menyampaikan saat ini pihaknya sedang fokus menangani kasus kekerasan seksual di Batang. Ia menyebut Kemen PPPA telah berkoordinasi dengan aparat di Batang untuk segera memproses kasus tersebut.

“Kemen PPPA berharap Polisi dapat menggunakan UU 17 Tahun 2016 dan proses acaranya dapat menggunakan UU 12 Tahun 2022 tentang TPKS. Kalau dari data kami, sampai tadi malam 7 Anak sudah didampingi melaporkan kasusnya ke Polres Batang, 5 anak sudah di visum, pelaku sudah ditahan, dan pendampingan psikososial akan terus dilakukan oleh Dinas PPPA Batang bersama lembaga Mitra,” kata dia.

Aktivis Kesetaraan dan Pendiri Yayasan JaRI (Jaringan Relawan Independen), Ilsa Nelwan menanggapi maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak. Menurut dia pentingnya menerapkan pendidikan seksualitas di sekolah. Hal ini untuk mencegah serta memberi pemahaman pada anak soal batasan-batasan ketika orang lain berinteraksi dengan anak.

“Pendidikan seksualitas itu bukan soal bagaimana mengajari anak melakukan seks. Tapi tentang batasan, soal ketubuhan. Bagaimana menjadi perempuan, bagaimana menjadi laki-laki. Kemanusiaannya dulu yang harus diangkat. Dari bayi pun kita bisa ajarkan, soal ‘consent’. Kebanyakan orang kita itu nggak nangkep apa itu consent. Misal orang mau dicium, memang nggak menyebabkan hamil, tapi kan apakah orang asing boleh melakukan itu pada anak? Pemahaman orang di kita itu memang masih sangat minim,” kata Ilsa. (H-3)

BERITA TERKAIT