21 August 2022, 20:05 WIB

KLHK Kembangkan Sistem Peringatan Dini untuk Cegah Kebakaran di Lahan Gambut


Atalya Puspa | Humaniora

ANTARA/Makna Zaezar
 ANTARA/Makna Zaezar
Foto udara areal lahan tanah gambut di kawasan Jalan Nasional Kalimantan Sebangau, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Selasa (9/8).

KEMENTERIAN Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah mengembangkan sistem peringatan dini untuk pemantauan lahan gambut. Sistem itu diharapkan mampu mendeteksi lahan gambut yang rawan terbakar untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

"Kami akan menyajikan informasi dalam bentuk upper layer dalam sistem pemantauan gambut (Simatag-0,4m), di mana bentuknya adalah dengan kawasan dan warna-warna. Sistem ini kami sedang kembangkan dan sesegera mungkin akan di-launching oleh Menteri LHK Siti Nurbaya," kata Direktur Pengendalian Kerusakan Gambut KLHK Sri Purwati Murwani, Minggu (21/8).

Sri menjelaskan nantinya, sistem itu akan mendeteksi tinggi muka air tanah. Ada sejumlah kategori, yakni warna ungu untuk menyatakan bahwa gambut itu dalam keadaan basah dan terendam. Kemudian warna hijau untuk TMAT antara 0 sampai 40 cm di bawah permukaan gambut, kemudian warna kuning untuk TMAT lebih dari 40 sampai 80 cm di bawah permukaan gambut dan merah untuk tanda bahwa tinggi air tanah sudah lebih dari 1 meter di bawah lahan gambut.

"Dari sistem ini kalau datanya lebih dari 40 cm di bawah permukaan gambut, maka akan dikirim allert atau peringatan kepada perusahaan untuk memperbaiki tata kelola airnya. Ini jadi early warning system agar kita semua berhati-hati agar tidak terjadi karhutla," ucap Sri.

Indonesia sendiri merupakan negara dengan ekosistem gambut tropis terluas di dunia, dengan luas ekosistem gambut seluas 24,667 juta hektare. Adapun, langkah corrective action untuk pemulihan dan pengelolaan lahan gambut telah dilakukan KLHK sejak 2015.

Upaya itu telah tertuang dalam penetapan kedua Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2014 jo Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2016.


Baca juga: Kemenkes Lacak Kontak Erat Pasien Cacar Monyet


"Pemulihan ekosistem gambut itu dilakukan di kawasan konsesi dan sampai sekarang sudah dilakukan di 72 perusahaan HTI dan 248 perusahaan sawit yang totalnya area pemulihan konsesi adalah 3,6 juta hektare," beber Sri.

Untuk itu, dalam hal ini perusahaan pemegang HTI dan perusahaan sawit memiliki peran yang penting dalam pemulihan dan pengelolaan ekosistem gambut.

Sri melanjutkan, kewajiban perusahaan untuk melaporkan kondisi dan pengelolaan gambut juga akan masuk dalam penilaian kinerja perusahaan.

"Jadi kami tidak hanya memberikan allert, tapi itu masuk dalam komponen kriteria ketaatan perusahaan dalam penilaian Proper. Kalau persyaratan tidak dipenuhi, misalnya tinggi muka air lebih kering dari persyaratan yang diwajibkan maka akan diberikan nilai merah," beber dia.

Selain melibatkan perusahaan, upaya corrective action KLHK dalam pengelolaan dan pemulihan gambut juga melibatkan masyarakat. Hingga kini, KLHK telah membangun sebanyak 222 desa mandiri gambut di 9 provinsi dengan luas 49,5 ribu hektare.

Dalam hal ini, masyarakat juga diberikan pelatihan untuk menggunakan sistem pemeringkatan bahaya kebakaran lahan gambut Indonesia atau Indonesia peatland fire danger rating system (Ina-FDRS).

"Jadi masyarakat bisa melihat warna-warna dalam sistem itu. Kalau warna merah, yang berarti tinggi air sudah di bawah 1 meter di bawah permukaan gambut, maka mereka harus mengecek sekat kanal yang dibuat untuk perbaikan tata kelola air apakah ada kebocoran, atau musim kering terlalu panjang," jabar Sri.

"Tapi selain melakukan pemantauan, dalam upaya pengelolaan dan pemulihan ekosistem gambut yang disusun pemerintah juga dapat meningkatkan kehidupan masyarakat sehingga masyarakat secara ekonomi mau dan mampu berpartisipasi dalam pelaksanaan perlindungan ekosistem gambut," tutup dia. (OL-16)

 

BERITA TERKAIT