DALAM kurun waktu 10 tahun terakhir, konflik antara manusia dan satwa liar terus terjadi dan tidak ada tanda-tanda mereda.
Konflik ini terjadi hampir di seluruh provinsi di Sumatera. Provinsi Bengkulu menjadi provinsi kedua dengan kasus konflik manusia dan satwa liar terbanyak setelah Aceh.
Gajah dan harimau sumatra merupakan satwa yang paling sering berkonflik dengan manusia, dan semakin mengkhawatirkan.
Konflik manusia dan satwa liar dipicu oleh alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan, lahan pertanian pemukiman dan pembangunan infrastruktur yang berdampak pada hilangnya habitat (habitat loss), pemecahan habitat (fragmentation) dan penurunan kualitas habitat (habitat degradation).
Pada akhirnya ketiga dampak tersebut mengancam kelestarian keanekaragaman hayati di provinsi Ini.
Merespons maraknya konflik manusia dan satwa liar, dua peneliti Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN memberikan tanggapannya. Profesor Garsetiasih mengatakan konflik gajah dengan manusia merupakan konflik yang sering terjadi di Pulau Sumatra khususnya Sumatera Selatan.
Hal ini telah telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan bagi gajah sendiri. Beberapa gajah mati terbunuh karena diracun, sementara tanaman masyarakat sering menjadi sasaran gajah untuk dimakan.
Baca juga: Ribuan Spesies Terancam Punah, Masyarakat Diajak Selamatkan Satwa Liar
“Di sini manusia harus sudah membiasakan diri hidup berdampingan dengan gajah (co-existent) karena ruang habitat gajah yang semakin sempit sehingga harus berbagi dengan manusia,” ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (18/8).
Sementara itu, Hendra Gunawan - Profesor Riset Macan Tutul Jawa Pertama di Indonesia mengatakan untuk mitigasi konflik antara satwa liar dengan manusia diperlukan upaya komprehensif, holistik dan terencana.
Dimulai dari penataan ruang, pemetaan kantong-kantong habitat satwa yang dipertahankan fungsinya sebagai kawasan yang dilindungi seperti Taman Nasional, Suaka Margasatwa atau Cagar Alam.
“Kantong-kantong habitat ini juga jangan sampai terfragmentasi oleh pembangunan infrastruktur seperti jalan raya. Jika terpaksa harus terfragmentasi oleh jalan, maka perlu dibuat koridor penghubung, dengan cara, misalnya jalan dibuat sebagai flyover (red : jalan layang), atau dengan membuat koridor sebagai eco bridge di atas jalan, atau untuk daerah rawa bisa dibuat gorong-gorong besar (culvert),” jelasnya.
Hendra menambahkan gajah dan harimau merupakan satwa dengan wilayah jelajah (home range) luas. Gajah karena ukuran tubuhnya yang besar sementara harimau merupakan pemangsa puncak dalam ekosistem hutan Sumatra.
Sehingga sehingga wilayah jelajahnya bisa lintas provinsi, karena mereka tidak mengenal batas wilayah administratif, oleh karena itu upaya penanganan konfliknya harus melibatkan banyak pihak dan terintegrasi.
Terkait dengan maraknya kegiatan pembangunan seperti pertambangan di kawasan hutan dan pembangunan perkebunan kelapa sawit,
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai instrumen pencegahan kerusakan lingkungan harus diterapkan dan dikawal dengan ketat. Apalagi jika pembangunan memiliki dampak penting dan berskala luas serta berbatasan dengan kawasan-kawasan konservasi. (Van/OL-09)