KEKERASAN seksual merupakan masalah serius yang dapat terjadi kepada siapa pun serta kapan pun dan di mana pun. Bahkan dalam lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi tempat menuntut ilmu, masyarakat masih belum aman dari bahaya kekerasan seksual.
Di Indonesia, kekerasan seksual menjadi kasus yang kerap terjadi di lingkungan pendidikan. Menurut data catatan dari Komnas Perempuan selama periode 2017-2021, kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan paling banyak terjadi di perguruan tinggi.
Kekerasan seksual di pendidikan tinggi di Indonesia ini menjadi topik yang dibahas Gender Studies Forum (GSF) pada Rabu (10/8) dan Kamis (11/8) yang dilaksanakan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Judulnya Menginvestigasi Kekerasan Seksual di Pendidikan Tinggi di Indonesia: Interseksi dan Interjeksi. Forum ini membahas berbagai isu krusial terkait kekerasan seksual, seperti komitmen negara dalam implementasi regulasi kekerasan seksual, peluang satuan tugas dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual, menyoal kembali perlindungan terhadap kelompok disabilitas dan kelompok marjinal lain, dan akar-akar kekerasan dalam dimensi sosio kultural.
Kegiatan itu diikuti oleh tidak kurang dari 200 peserta, baik offline maupun online, untuk berbagi pengalaman, mulai dari Komnas Perempuan, Komnas Disabilitas, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi dari 58 kampus di Indonesia. Gender Studies Forum dibuka oleh Chatarina Muliana Girsang, Inspektur Jenderal Kemendikbud.
Dalam sambutannya, Chatarina menyambut baik kolaborasi ini. Sebab di pihak kementerian yang bertanggung jawab atas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, kerja-kerja kolaboratif mutlak harus dilakukan. "Kerja kolaboratif ini harus melibatkan berbagai elemen, mulai dari perguruan tinggi, organisasi masyarakat, hingga komunitas. Kementerian menyambut baik GSF sebagai bagian dari upaya duduk bersama untuk mencari jalan terbaik menyelesaikan persoalan kekerasan seksual," ujarnya.
Tunggal Pawestri, Direktur Eksekutif Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial, menekankan dukungan lembaganya dalam mendorong upaya baik dan intervensi dalam upaya pemberantasan kekerasan seksual. Tunggal menyebut bahwa kegiatan GSF menjadi sangat penting sebab menyediakan bahan dan amunisi untuk mendorong kebijakan yang responsif dan inklusif. Hal ini yang menjadi alasan Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial mendukung sepenuhnya program, diskusi, maupun diseminasi hasil dari GSF.
Prof. Alimatul Qibtiyah selaku komisioner Komnas Perempuan menjelaskan bahwa angka kekerasan seksual di Indonesia semakin meningkat setiap tahun dan berbagai upaya secara regulatif sudah bergerak ke arah upaya pencegahan kekerasan seksual. "Tantangan utamanya ada pada mental model bahwa seprogresif apapun regulasi menjadi sulit dilaksanakan jika orang-orang yang mengimplementasikan di lapangan masih memahami kekerasan seksual sebagai hal yang biasa," ungkapnya.
Dr. Dante Rigmalia, Ketua Komnas Disabilitas, menjelaskan bahwa salah satu tantangan utama dalam kekerasan seksual terletak pada sikap masyarakat dan aparat penegak hukum yang cenderung mengabaikan. Akibat kurangnya pengetahuan aparat, sistem peradilan pidana di Indonesia menjadi tidak terintegrasi dengan sistem pemulihan korban. Trauma dan rasa malu yang dialami penyandang disabilitas sebagai korban kekerasan seksual sering kali diabaikan. Pada akhirnya, korban dan keluarga merasa pesimis kasus tersebut bisa diselesaikan.
Dr. Sri Wiyanti Eddyono dari UGM bicara mengenai distorsi termal keadilan restoratif. Menyelesaikan konflik hukum, terutama kekerasan seksual, harus dilakukan dengan menggelar mediasi antara korban dan terdakwa. Menurutnya, tujuan keadilan restoratif dalam UU TPKS dan Permendikbud memiliki prinsip melindungi dan memulihkan korban.
Dalam sambutan penutup dari Dr. Khaerul Umam Noer, Ketua Pelaksana kegiatan GSF yang juga seorang dosen di Universitas Muhammadiyah Jakarta, dia menjelaskan bahwa GSF merupakan kerja kolaboratif yang mendudukkan semua pihak, mulai dari pengambil kebijakan di kampus, akademisi dan aktivis, elemen mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil. Kegiatan Gender Studies Forum ditutup dengan dibacakannya Seruan Dari Depok: Nyalakan Tanda Bahaya oleh setiap pihak yang hadir. Kegiatan ini dilaksanakan atas kerja sama Universitas Muhammadiyah Jakarta, Universitas Indonesia, Universitas Bengkulu, Universitas Lambung Mangkurat, dan Droupadi. Kegiatan ini didukung sepenuhnya oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Kedutaan Norwegia di Jakarta, Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial, dan Atiqoh Noer Alie Center. (RO/OL-14)