OMBUDSMAN RI melaporkan bahwa sejumlah masalah dalam pelaksanaan seleksi PPPK Guru mendominasi laporan pengaduan seleksi CASN 2021-2022. Mulai dari masalah afirmasi hingga kekosongan formasi menjadi catatan bagi K/L penyelenggara seleksi.
"Substansi pengaduan didominasi oleh permasalahan nilai afirmasi dalam seleksi PPPK Guru yang disebabkan mismatch antara sistem Dapodik dan sistem di BKN," ujar anggota Ombudsman Rebert Na Endi Jaweng dalam acara 'Update Publik Seleksi CASN 2021-2022: Evaluasi dan Perbaikan ke Depan' secara daring pada Kamis (16/6).
Robert menjelaskan bahwa terdapat 5 pengaduan terbanyak yang dilaporkan ke Ombudsman. Kelima diantaranya adalah tidak memperoleh afirmasi, linearitas ijazah, dokumen/ berkas tidak lengkap, ketidakjelasan informasi dan ekosongan formasi/ formasi tidak terisi.
Adapun, kasus khusus dalam pelaksanaan seleksi PPPK tahap 1 dan 2 terkait penerapan sistem otomatis dan pemberian nilai tambahan. Kemudian pemberian hak khusus melamar di sekolah induk dan pelarangan pelamar bagi sekolah lain.
Selain itu, juga adanya indikasi tindakan tidak patut oleh operator sekolah dan dinas dalam melakukan update data Dapodik, termasuk mamasukan nama dan menghapus nama. "Kemudian juga live scoring yang terkendala di beberapa daerah," imbuhnya.
Lebih lanjut, Robert menjelaskan bahwa dari temuan Ombudsman, tampaknya pengawasan terhadap operator sekolah atau operator dinas penting untuk diperkuat. Pasalnya operator sekolah menjadi kunci untuk mengisi atau mengupdate data para pelamar.
Baca juga: Lanjutkan Kunkernya, Wapres Serahkan Manfaat dan Beasiswa BPJS Ketenagakerjaan Bagi Pekerja di Jambi
"Ada orang yang misalnya sebenarnya sudah memenuhi persyaratan 3 tahun berturut-turut ngajar di sekolah A, kemudian pindah ke sekolah B, 3 tahun berturut-turut juga di sana, tapi ternyata dua-duanya tidak tercatat atau tidak terupdate," terangnya.
Ombudsman juga mengamati isu krusial lain bahwa operator sekolah juga bermain mata, bahkan meminta fee agar nama guru terus terupdate. Lantas, pengawasan dari Kemendikbud-Ristek dan dari dinas terkait terhadap operator di tingkat sekolah menjadi PR ke depan.
Terkait linearitas ijazah, kata Robert juga menjadi isu penting. Mengingat terjadi mismatch antar nomenklatur formasi dengan nomeklatur prodi. Menurutnya hal ini adalah kasus yang menarik, karena umumnya sekolah-sekolah atau perguruan tinggi membuka prodi dengan nama yang sifatnya lebih ke marketing untuk menarik minat mahasiswa. Namun, justru tidak baku atau tidak sesuai standar dari Kemendikbud-Ristek.
"Nah repotnya ketika yang bersangkutan tamat, prodinya itu tidak sesuai dengan nama yang sebenarnya sama. Ini selalu menjadi problem, institusi pendidikan membuka prodi dengan nama-nama yang menjual. Ini mungkin harus me-match-kan apa yang ditetapkan Kemendikbud dengan apa yang tersedia oleh perguruan tinggi, sehingga secara rumpun keilmuan masuk," tandasnya.(OL-4)