ANGGOTA Badan Pemeriksa Keuangan, Achsanul Qosasi mengatakan temuan adanya penyaluran bantuan sosial yang tidak tepat sasaran itu terjadi di era Menteri Sosial Tri Rismaharini.
Sebelumnya Mensos Risma membantah saat raker dengan Komisi VIII DPR RI pada Senin (6/6) bahwa penyaluran bansos yang tidak tepat sasaran ini terjadi di era sebelum ia menjabat. Namun, diketahui Mensos Risma dilantik pada 23 Desember 2020 dan BPK mengaudit data-data tersebut di tahun 2021.
“Itu sudah Bu Risma sih, itu kan temuan 2021,” kata Achsanul kepada Media Indonesia, Kamis (16/6).
Terkait dana yang tidak tersalurkan sebanyak 1,11 triliun rupiah, Achsan menyebut Kemensos baru mengembalikan 700 miliar. Sisanya masih diproses dan Kemensos janji akan mengembalikan paling lambat bulan ini ke kas negara.
“700 miliar sudah balik. Dari 1,11 itu sudah dikembalikan, sisanya dalam penyusunan, katanya bulan ini akan dikembalikan ke kas negara,” ujar Achsan.
Dalam temuan BPK, Achsan mengakui bahwa masalah data dan verifikasi penerima manfaat bantuan sosial di Kemensos masih sangat lemah. Banyak ditemukan data-data yang tidak padan atau tidak sesuai antara NIK, Nomor Pajak dan nomor perbankan.
Baca juga: Cara Memilih Minyak Goreng yang Sehat
Achsan mengungkapkan bahwa BPK menemukan Direktur dan Komisaris sebuah perusahaan masuk dalam daftar penerima manfaat bantuan sosial. Selain itu Aparatur Sipil Negara (ASN) serta orang-orang yang sudah meninggal datanya juga masih tercantum dalam daftar penerima bansos.
“Ini kan yang bermasalah kan BST, bantuan sosial tunai. Jadi yang meninggal, kita minta dinonaktifkan, yang ASN dinonaktifkan. Kemudian ada yang terdaftar di AHU, AHU itu di Kementerian Hukum dan HAM ada orang yang terdaftar sebagai direktur, komisaris di sebuah perusahaan tapi masih menerima bansos, itu yang kita minta langsung saja dinonaktifkan, sehingga tahun depan jangan sampai mereka menerima lagi,” tambah Achsan.
Selain itu, Achsan juga menyampaikan bahwa BPK sudah meminta kepada Kemensos untuk membuka data-data penerima bansos ke publik agar ada koreksi mandiri dan dapat dipantau oleh publik secara langsung.
“Memang itu data publik kok mestinya. Jadi harusnya boleh diakses ke publik, bisa diakses publik itu jauh lebih bagus. BPK sudah meminta kepada mereka, merekomendasikan, data ini harusnya bisa dibaca juga oleh masyarakat siapa saja yang menerima. Sehingga ada selfcorrection. Misalnya kok masuk nama saya di situ, padahal saya nggak berhak. Nah itu nanti kan malu dia,” lanjut Achsan.
Transparansi data, kata Achsan sangat diperlukan agar temuan BPK terkait triliunan uang negara disalurkan kepada mereka yang tidak berhak. Atau bahkan malah digunakan untuk kepentingan politik.
BPK berharap persoalan database serta koordinasi antara dinas sosial di daerah dan Kementerian Sosial dalam hal ini Pusdatin (Pusat Data dan Informasi) dapat ditingkatkan. Selain itu, BPK juga meminta agar Dinsos di daerah juga harus rajin melakukan pembaharuan daftar data orang-orang yang berhak menerima bansos setiap tahunnya.
“Karena kalau datanya salah, otomatis negara salah menyalurkan programnya. Makanya saat ini, prioritas yang dilakukan harus Kemensos itu updating dan verifikasi terhadap data-data di daerah, agar nanti di tahun depan atau tahun ini, 2022, pemberian bansos, pemberian subsidi, macam-macam program pemerintah baik itu upah, bansos upah atau BST atau bantuan ketenaga kerja itu betul-betul berjalan dengan baik,” pungkas Achsan. (OL-4)