SEJAK 2017, pemerintah Indonesia telah merintis upaya untuk mengusulkan Jalur Rempah sebagai nominasi warisan dunia (world heritage) dari Indonesia. Ditargetkan, pengakuan tersebut sudah didapat dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada 2024.
Syarat utama sebuah budaya bisa diakui sebagai warisan dunia oleh UNESCO ialah memiliki outstanding universal value (OUV) atau nilai universal luar biasa. Pun dengan Jalur Rempah. Karenanya, pemahaman tentang sejarah Jalur Rempah juga harus hidup di tengah masyarakat di Tanah Air.
Untuk itu, dalam komitmen mendukung serta mewujudkan proses nominasi tersebut, Universitas Gadjah Mada (UGM) pun membentuk lembaga riset khusus pada 2021. Diberi nama Tim Kosmopolis Rempah, kelompok riset tersebut menjadi wadah kegiatan kajian, rekonstruksi, revitalisasi, serta inovasi dalam upaya penguatan Jalur Rempah Nusantara sebagai warisan dunia.
Sebelumnya, UGM diundang tim Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Yogyakarta untuk dapat berperan aktif dalam membantu program pemerintah tersebut. Sebagai tindak lanjutnya, ‘Kampus Biru’ menggelar beberapa kali pertemuan, rapat, dan seminar Jalur Rempah sebagai warisan dunia untuk mendapatkan pandangan dari para pakar internal.
Salah satu hasil seminar tersebut mengerucut pada kesimpulan untuk mendirikan semacam lembaga atau pusat studi rempah di UGM. Anggotanya multidisiplin, dari Fakultas Farmasi, Fakultas Pertanian, Fakultas Ilmu Budaya (Sejarah, Arkeologi), hingga Fakultas Biologi.
Mengapa bukan Jalur Rempah
UGM juga mengusulkan penggunaan istilah ‘Kosmopolis Rempah’ sebagai pengganti ‘Jalur Rempah’. Hal itu lantaran secara historis Jalur Rempah lebih mengarah pada jalur perdagangan orang Eropa ke Nusantara pada abad ke-16 hingga ke-18, yang tujuannya juga mencari rempah. Jalur Rempah itulah yang kelak melahirkan penjajahan di bumi Ibu Pertiwi.
Karenanya, istilah kosmopolis rempah yang dipakai UGM ialah sebuah zona peradaban rempah dunia. Ia terbentuk sebagai hasil dari interaksi historis yang berabad-abad lamanya antara Nusantara sebagai pusat produksi rempah dan bangsa-bangsa lain di dunia yang mengonsumsi dan memanfaatkan rempah untuk berbagai tujuan. Peradaban rempah memiliki dimensi ekonomi, politik, budaya, religiositas, dan ilmu pengetahuan.
Rempah-rempah merupakan komoditas utama dari kepulauan Nusantara yang telah diperdagangkan para pelaut Nusantara ke berbagai belahan dunia sejak ratusan tahun sebelum Masehi (SM). Para pelaut Nusantara telah mengenalkan komoditas tersebut menuju Tiongkok di utara, dan Arab, India, Srilanka, dan Afrika di barat, bahkan kemungkinan hingga laut Mediterania yang menghubungkan para pedagang dunia dari Afrika, Asia, dan Eropa.
Aktivitas para pelaut Nusantara mengarungi samudra untuk memperdagangkan komoditas-komoditas itu berangsur-angsur berkurang dengan kedatangan bangsa-bangsa India, Arab, dan Tiongkok di kepulauan Nusantara sejak abad ke-7 hingga 15. Popularitas rempah di berbagai belahan dunia itu telah membuat bangsa-bangsa itu tak lagi sabar menunggu kedatangan para pelaut Nusantara untuk mendapatkannya sehingga mereka mulai berinisiatif untuk mencari sendiri ke pusat-pusat produksinya.
Pelayaran pelaut Nusantara memperdagangkan rempah ke barat dan utara berakhir setelah kedatangan bangsa-bangsa Barat, seperti Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda yang mengambil alih perdagangan rempah Nusantara. Periode arung samudra pelaut Nusantara beratus tahun SM hingga kedatangan bangsa-bangsa asing ke Nusantara dapat dianggap sebagai ‘The First Wave’ (Gelombang Pertama) perdagangan rempah dunia, yang pemeran utamanya ialah pelaut-pelaut Nusantara sendiri.
Pendekatan
Nama Tim Kosmopolis Rempah UGM sedang dalam proses pendaftaran Kekayaan Intelektual ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam kegiatannya, tim riset itu menjalankan tiga pendekatan atau aspek penting, yakni rekonstruksi, revitalisasi, dan inovasi terhadap Jalur Rempah Nusantara sebagai warisan dunia.
Rekonstruksi terkait dengan sejarah untuk mengetahui cara rempah diproduksi, perdagangannya, hingga pemanfaatan di berbagai bidang. Sementara itu, revitalisasi atau memvitalkan kembali fungsi rempah yang mungkin di beberapa daerah sudah mengalami kemunduran.
Adapun aspek inovasi terkait dengan kajian yang mengarah pada temuan baru. Pasalnya, dari 250 rempah di Asia Tenggara, 135 di antaranya berada di Indonesia belum sepenuhnya terkaji dengan lengkap. Tentunya, inovasi membuka peluang, terutama bagi ahli gastronomi, gizi, kecantikan, farmasi, atau kesehatan untuk terus berinovasi dengan bahan baku rempah.
Untuk mendapatkan pengakuan Jalur Rempah Nusantara sebagai world heritage, perlu dukungan integrasi bukti ilmiah dan klaim dukungan dengan pendekatan terintegrasi dari rekonstruksi, revitalisasi dan inovasi, serta akselerasi kemanfaatan rempah untuk daya lenting kejayaan Nusantara. Imbasnya, penyediaan rempah pada masa kini akan mengalami revitalisasi yang membawa efek domino pertumbuhan ekonomi melalui hasil inovasi pangan berbasis rekonstruksi dan revitalisasi rempah.
Pendekatan Tim Kosmopolis Rempah akan sangat mendukung bukti ilmiah bahwa aktivitas jalur sutra masih eksis hingga saat ini dan memiliki OUV sehingga perlu kolaborasi multihelix. Tim tersebut sudah memiliki rekam jejak terkait dengan penelitian di bidang rempah dan pangan.
Kegiatan yang sudah dilakukan bersifat multidisiplin dan lintas disiplin, baik di level nasional maupun internasional. Di level nasional, beberapa mitra Tim Kosmopolis Rempah di antaranya BPCB Yogyakarta, Putri Kedaton Group, PT Nares Essential Oils, Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan, Universitas Khairun (Ternate), Pusat Kuliner dan Gastronomi Indonesia, serta Persatuan Dokter Pengembangan Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI). Sementara itu, pada level global, beberapa mitra kami di antaranya Leiden University, Archipelagic and Island States (AIS) Forum, dan perusahaan Jepang S&B Foods Inc.
Tantangan branding
Pada tahun ini, Tim Kosmopolis Rempah lebih fokus pada rekonstruksi dengan pendekatan sejarah dan arkeologi kemaritiman. Pada segi revitalisasi, akan dilakukan pendekatan kepariwisataan dan archipelago dan rantai pasok. Sementara itu, pada sisi inovasi akan dilakukan etnomedisin, gastronomi atau pangan fungsional atau nutraceutical, dan biodiversitas.
Ke depan, Tim Kosmopolis Rempah UGM akan memetakan kebutuhan branding kosmopolis rempah dan gap analisis antara data atau bukti sejarah dan fakta kekinian. Dilakukan pula marketing dan branding Jalur Rempah wisata, perdagangan, maritim, kesehatan, geodiplomasi, dan gastrodiplomasi. Akan dilakukan penelusuran bukti inovasi makanan fungsional, rempah dan obat-obatan, serta bukti untuk basis data dan informasi.
Agar Jalur Rempah Nusantara dapat diakui dunia, faktor-faktor pendukungnya pun perlu disiapkan dengan baik. Pemerintah harus membangun jaringan serta melakukan penjajakan pembuktian untuk meyakinkan lembaga yang memiliki konsen yang sama. Dengan begitu, lembaga riset bisa dikembangkan dan memiliki prospek masa depan.
Adapun kendala yang dihadapi kurangnya kepedulian bargaining position rempah bagi masyarakat. Diperlukan juga penguatan peta jalan pengembangan rempah sejalan dengan konsistensi kebijakan pemerintah dan akses terkait bukti yang semakin sulit dikumpulkan.
Selain itu, klaim atas rempah bukan hanya milik Indonesia karena negara lain berpotensi melakukan langkah yang sama. Masalahnya, eksportir rempah terbesar sedunia bukan lagi Indonesia dan pamor makanan berempah khas Asia pun sudah melekat pada Tiongkok, Thailand, dan India.