IKATAN Psikolog Klinis Indonesia (IPK Indonesia) meminta Panja RUU Pendidikan dan Layanan Psikologi (RUU PLP) Komisi X DPR RI untuk memberikan pengecualian terhadap semua pengaturan profesi psikolog klinis di RUU tersebut. IPK menilai bahwa draft RUU PLP tidak selaras dengan peraturan perundangan yang sudah ada sebelumnya.
"Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, IPK Indonesia menegaskan sikap bahwa psikolog klinis perlu dikecualikan dari semua pengaturan di RUU Praktik Pendidikan dan Layanan Psikologi," tulis perwakilan IPK Indonesia dalam pernyataan sikapnya, Minggu (29/5).
Psikolog klinis adalah tenaga kesehatan, yang telah diatur oleh UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan turunannya termasuk Peraturan Menteri Kesehatan No. 45 Tahun 2017 tentang izin dan penyelenggaraan praktik psikolog klinis.
Namun, dalam draft RUU terdapat sejumlah pasal yang tidak selaras terkait pendidikan tenaga kesehatan, standar layanan tenaga kesehatan, pendaftaran dan perizinan tenaga kesehatan, termasuk dalam pengaturan organisasi profesi tenaga kesehatan.
Draft RUU PLP pasal 1 ayat 6 menyebutkan bahwa Surat Tanda Registrasi (STR) merangkap sebagai surat izin praktik (SIP), dan diterbitkan oleh organisasi profesi himpunan psikologi. Padahal, STR dan SIP memiliki tujuan dan fungsi yang berbeda.
"Perijinan profesi lazimnya diterbitkan oleh pemerintah bukan oleh organisasi profesi. Hal itu untuk melindungi kepentingan publik dari praktik-praktik yang tidak bertanggung jawab," sebut IPK.
Selain itu, terdapat istilah induk organisasi profesi yang merupakan istilah di luar kelaziman. Pengaturan terkait profesi seharusnya diatur oleh organisasi profesi yang memiliki satu profesi sejenis atau homogen bukan heterogen atau berupa induk organisasi profesi yang terdiri dari berbagai organisasi profesi.
Baca juga : Rangkaian HLUN 2022, Kemensos Serahkan Alat Bantu Bagi Lansia di Kecamatan Puspahiang
Saat ini psikolog klinis telah memiliki satu organisasi profesi homogen yaitu Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia yang didirikan atas amanat UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. IPK Indonesia berada di bawah binaan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, yaitu Direktorat Kesehatan Jiwa di bawah Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat.
"Terkait adanya induk organisasi profesi psikolog klinis, IPK Indonesia secara tegas dan konsisten menolak berada di bawah himpunan, organisasi masyarakat (ormas), maupun organisasi profesi lainnya untuk menghindari potensi terjadinya konflik kepentingan, kebingungan, dan ketidakpastian hukum dalam praktik layanan psikologi klinis di masyarakat," jelasnya.
Sementara itu, terkait pendidikan profesi psikologi dalam draft RUU PLP juga disebut tidak sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dalam draft RUU PLP, pendidikan profesi hanya bisa diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan induk organisasi profesi.
Padahal dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pendidikan profesi dapat diselenggarakan oleh perguruan tinggi dengan bekerja sama berbagai pihak antara lain kementerian, LPNK (Lembaga Pemerintah Non Departemen) dan atau organisasi profesi.
Sikap IPK Indonesia sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pendidikan Tinggi, yaitu pendidikan profesi diselenggarakan oleh perguruan tinggi bekerja sama dengan kementerian, LPNK dan/ atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi. Mengacu kepada UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang selaras dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), yang menempatkan Psikolog Klinis pada level 8 (level ahli). Dengan demikian, pendidikan profesi psikolog klinis perlu diselaraskan dengan pendidikan profesi tenaga kesehatan lainnya.
"Bersama kita berjuang untuk menegakkan marwah profesi psikolog klinis dan IPK Indonesia sebagai organisasi profesi resmi bagi Psikolog Klinis Indonesia. Tujuannya adalah agar tidak terjadi tumpang tindih aturan yang berpotensi menimbulkan konflik dan kebingungan yang bisa merugikan masyarakat Indonesia," tegas IPK.
Adapun pernyataan sikap IPK Indonesia itu disampaikan kepada Panja Komisi X saat mengadakan uji publik naskah RUU PLP secara serentak di 3 kota, yakni Surabaya (Jawa Timur), Solo (Jawa Tengah), dan Makassar (Sulawesi Selatan). Uji publik yang dilaksanakan pada 27 Mei 2022 itu dihadiri sejumlah organisasi atau lembaga terkait untuk bisa memberi aspirasi. (OL-7)