TANPA memiliki sense of crisis, seorang public relations (PR) akan kesulitan menyelesaikan permasalahan atau krisis kehumasan. Kecerdasan, keberanian, kemampuan beradaptasi merupakan kunci dari menemukan sense of crisis.
Pakar komunikasi krisis Dr. Firsan Nova menyebutkan ketiga kunci itu akan sangat membantu seorang PR muda untuk menghadapi krisis kehumasan. Hal tersebut bisa dilatih melalui kepekaan terhadap kehidupan sosial sekitar.
Praktisi kehumasan Dian Agustine Nuriman mengatakan kehidupan sosial sangat berpengaruh bahkan pancaindra manusia turut berperan dalam pembentukan sense of crisis. Ini terutama pada era kehumasan digital saat ini yang sangat cepat bergerak dan sensitif sehingga akan sangat mudah memunculkan krisis yang tak terduga. Oleh karenanya, seorang humas harus dapat diandalkan ketika berhadapan dengan konflik di masa depan.
Permasalahan sense of crisis ini dibahas tuntas dalam Webinar Sense of Crisis in Digital Era pada Jumat (1/4) di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Webinar ini menghadirkan tiga penulis buku PR Crisis sekaligus narasumber dalam webinar ini. Ketiganya ialah Dr. Firsan Nova selaku CEO Nexus Risk Mitigation and Strategic Communication, Dian Agustine Nuriman (Founder of Nagaru Communication), dan jurnalis Republika, Mohammad Akbar.
Firsan mengatakan seorang humas dapat melatih rasa krisisnya ketika ia mengetahui 3K dalam sense itu sendiri. Kecerdasan, keberanian, dan kemampuan dalam beradaptasi yang tinggi menjadi kunci. Ia juga menambahkan rasa terhadap krisis ini terkadang perlu disadarkan.
"Sense of crisis memang sudah ada dalam diri seseorang tetapi terkadang ketika menghadapi krisis, sense itu perlu diingatkan atau disadarkan untuk mengendalikan situasi yang terjadi. Kemudian menghadapi krisis, secara mutlak kita harus memiliki 3K," tuturnya. Pertama, kecerdasan dibutuhkan untuk menganalisa situasi, memetakan permasalahan, dan menemukan jalan keluar dari permasalahan tersebut. Kedua, keberanian menghadapi beragam orang yang menyerang kita (perusahaan/institusi). Yang terakhir, kemampuan beradaptasi yang tinggi.
Firsan memberikan contoh kemampuan beradaptasi yang tinggi akan mengalahkan 2K yang lain, yakni kecerdasan dan keberanian. Ibarat pendidikan, sekalipun seorang mahasiswa pintar tetapi tidak mudah berbaur atau beradaptasi akan mempersulit dirinya menggapai cita-citanya. Oleh karena itu, anak-anak yang memiliki kemampuan beradaptasi yang tinggi sangat cocok dalam industri kehumasan krisis.
Dian menambahkan bahwa pentingnya 3K tersebut dapat dilatih melalui kepekaan terhadap lingkungan sekitar dan dari pancaindra di tubuh. "Ketiga kunci tadi dapat kita latih dalam kehidupan sehari-hari mulai dari peka tentang teman, semisal ketika teman membutuhkan bantuan. Bahkan pancaindra bisa kita latih terlebih dahulu untuk peka dan aware mulai dari penglihatan, pendengaran, pengecapan, peraba, dan penciuman. Semua bisa kita latih untuk menumbuhkan sense itu. Pancaindra akan terhubung dengan sense of hearts dalam hati seorang humas sebelum kita berhadapan dengan krisis," ulas Dian.
Sebagai penutup, jurnalis Republika, Muhammad Akbar, mengatakan kaitan sense of crisis dalam menghadapi media saat krisis itu sengat penting. Media sangat senang diperhatikan, diberi kemudahan, dan dianggap seperti teman. Oleh karena itu, PR sejati harus mampu memiliki kepekaan terhadap media saat krisis terjadi.
Baca juga: Kekebalan Hibrida Berikan Perlindungan Terbaik dari Covid-19
"Musikus Jim Morisson mengatakan siapa yang bisa mengendalikan media, dia mengendalikan pikiran orang lain. Begitu pula seorang humas. Ia harus mampu peka terhadap media saat terjadi krisis. Jangan datang kepada media hanya saat krisis baru terjadi. Hal ini sangat tidak disenangi oleh media. Apalagi ketika krisis terjadi, seorang PR menjawab pertanyaan media dengan no comment, habislah perusahaan tersebut. Framing ini sangat digemari oleh media untuk menggoreng isu lebih dalam lagi," kata Akbar. (RO/OL-14)