NAMANYA Muhamad Adinugraha, akrab disapa Nugie. Sejak remaja, lelaki kelahiran Jakarta, 26 November 1990 ini paling senang menghabiskan waktu di depan komputer. Selain hobi mengutak-atik komputer, ia juga mencari tahu beragam teknologi seputar komputer dan gadget, bermain video game ialah kegiatan favoritnya. "Dulu saya gamer," ujar Nugie.
Ketika lulus SMA, ia pun mantap memilih jurusan teknik informatika di sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Namun, saat menjadi mahasiswa, ia harus menghadapi kenyataan pahit. Penyakit glaukoma yang menyerang saraf matanya sejak lulus SMA pelan-pelan merenggut penglihatannya. Kacamata plus yang biasa dia pakai, tak bisa lagi membantu untuk melihat. "Di tahun kedua kalau tak salah, penglihatan saya diambil Tuhan. Di situlah awal saya menjadi tunanetra," kata Nugie menceritakan pengalaman sedihnya dalam Bincang Daring yang diadakan Yayasan Mitra Netra akhir Januari lalu.
Kehilangan penglihatan membuat Nugie memutuskan untuk berhenti kuliah.
"Boro-boro melanjutkan kuliah, melanjutkan hidup saja waktu itu juga susah payah. Saya yakin tunanetra dewasa pasti mengerti," sambungnya.
Selain itu, perguruan tinggi tempat dia mengenyam pendidikan juga belum bisa menerima mahasiswa tunanetra.
Sempat terpuruk, semangat Nugie kembali bangkit setelah mengenal Yayasan Mitra Netra. Dari sana dia belajar bagaimana menjalani hidup sebagai seorang tunanetra. Mengikuti anjuran dari orangtuanya yang menginginkan putra mereka meraih gelar sarjana, Nugie akhirnya kembali kuliah. "Saya memilih kuliah di jurusan pendidikan bahasa Inggris yang relatif simple," ujar Nugie yang diterima di Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Di tengah keterbatasannya, Nugie membuktikan bahwa dia tetap bisa mengukir prestasi. Saat kuliah dia menjadi juara pertama English Debating Championship tingkat universitas dan mewakili kampus di ajang Kopertis 2016 tingkat nasional. Ia juga terpilih sebagai salah satu mahasiswa yang berkesempatan magang di Malaysia sebagai guru bahasa Inggris di Sekolah Menengah Kebangsaan selama dua bulan. Nugie juga berhasil lulus dengan nilai terbaik di kampusnya.
Setelah sukses meraih gelar sarjana pendidikan bahasa Inggris pada 2018, rupanya minat Nugie pada teknologi komputer dan PC Gaming tak pernah padam. Motivasinya untuk kembali menggeluti programming kian menguat setelah dia mengikuti pelatihan bahasa pemrograman JavaScript yang diadakan Yayasan Mitra Netra.
"Ternyata ada kursusnya, ada peluang dan memang ada buktinya, ada tunanetra yang bisa jadi programmer," ujar Nugie.
Sejak saat itu ia mulai mendalami ilmu pemrograman dan teknologi komputer. Kemampuannya berbahasa Inggris sangat membantunya saat berselancar di jagat maya, memperdalam ilmu dari berbagai situs yang membahas pemrograman atau berkomunikasi di forum programmer yang anggotanya berasal dari berbagai negara.
"Saat ini sudah banyak website dan forum-forum yang bisa diakses, misalnya forum yang membahasa JavaScript. Karena ini forum internasional, jadi harus bisa berbahasa Inggris," jelasnya.
Sempat menjadi instruktur komputer di Mitra Netra, nasib baik menghampiri Nugie ketika datang tawaran untuk menjadi programmer di Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), lembaga yang melakukan pengelolaan zakat secara nasional.
Rupanya kabar tentang kepiawaian Nugie sebagai programmer sampai ke telinga Achmad Setio Adinugoho, Direktur Inovasi Teknologi Baznas. Kebetulan saat itu Baznas sedang membutuhkan seorang programmer.
"Sebetulnya kami tidak spesifik mencari programmer tunanetra. Namun, setelah mengobservasi dan melihat kemampuan Nugie, saya tertarik," kata Achmad Setio.
Selain itu, sejak dulu Baznas juga ingin merekrut penyandang disabilitas sesuai amanat Undang-Undang No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Nugie dinilai memenuhi persyaratan.
"Baznas itu meng-hire programmer itu lebih kepada orang yang suka programming, punya minat di sana, dan mau belajar. Yang penting itu sebenarnya," lanjut pria yang akrab disapa Tio ini.
Setelah melewati proses perekrutan termasuk wawancara, sejak 5 Oktober 2021, Nugie mulai bekerja sebagai staf pengembangan aplikasi Baznas. Walau awalnya berat, Nugie berusaha melakukan penyesuaian secara teknis mengingat teknologi yang digunakan Baznas sama sekali baru untuknya. Nugie bersyukur, bekal yang didapat selama mengikuti pelatihan di Yayasan Mitra Netra membuatnya bisa beradaptasi dengan teknologi yang digunakan di Baznas.
“Sebenarnya awalnya itu degdegan, pasti. Lebih ke ragu apakah benar saya bisa masuk ke lingkungan yang profesional ini," kata Nugie yang diminta Tio membantunya mengembangkan sistem keuangan milik Baznas.
"Alhamdulillah Pak Tio itu sangat peduli, bijaksana dalam menyikapi keterbatasan saya, juga penyesuaian-penyesuaian tanpa saya minta, tanpa saya jelaskan, Pak Tio sudah aware dengan itu."
Salah satu penyesuaian yang dilakukan adalah Nugie diperbolehkan bekerja dari rumah. Maklum saja, sebagai tunanetra, cukup sulit bagi Nugie untuk pulang pergi ke kantor sendirian. Terkait kesulitan yang dia hadapi selama menjadi programmer, Nugie lebih memandangnya sebagai sebuah tantangan yang harus dihadapi dan dicari jalan keluarnya tanpa perlu mengeluh ke atasan atau rekan kerja. "Yang penting jangan putus asa. Karena setiap pekerjaan pasti ada tantangannya," tutur Nugie. (N-1)