28 March 2022, 17:05 WIB

Ilmuwan Temukan 'Surga' Anggrek di Pulau Batanta


Zubaedah Hanum | Humaniora

Google
 Google
Pulau Batanta, Papua Barat.

PULAU Batanta merupakan salah satu dari empat pulau besar di Kabupaten Raja Ampat yang terletak sekitar 34 kilometer dari arah barat Kota Sorong. Pulau tersebut memiliki beragam tipe ekosistem yang masih sangat alami. Tak hanya itu, kearifan lokal masyarakat adat dalam memanfaatkan tumbuhan di sekitarnya menarik untuk diteliti.

Pada Maret 2022, Tim kajian dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Barat yang dikoordinir oleh Reza Saputra berkolaborasi dengan peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Destario Metusala melaksanakan studi inventarisasi keragaman anggrek dan potensi pemanfaatan keanekaragaman tumbuhan oleh masyarakat adat di Pulau Batanta.

Dalam studi ini, para ilmuwan menemukan beragamnya koleksi anggrek di pulau tersebut, termasuk sejumlah koleksi baru.

Reza Saputra menjelaskan Pulau Batanta memiliki beragam tipe ekosistem yang masih sangat alami, mulai dari ekosistem pantai, hutan hujan tropis, dataran rendah, sampai dengan hutan pegunungan bawah pada ketinggian sekitar 1100 mdpl.

Bagian barat Pulau Batanta merupakan kawasan konservasi Cagar Alam Batanta Barat yang berfungsi untuk kegiatan penelitian dan perlindungan biodiversitas beserta ekosistemnya. “Penelitian botani di Pulau Batanta tergolong masih relatif jarang dilakukan,” ungkapnya dikutip dari laman BRIN.

Reza menambahkan tim melakukan eksplorasi pada jangkauan area jelajah yang terbatas, namun telah berhasil menemukan sekitar 90 nomor koleksi anggrek. Sebagian masih dalam proses identifikasi untuk memastikan nama spesiesnya. Sedangkan sebagian lainnya ditemukan dalam kondisi tanpa bunga.

“Spesimen anggrek yang tanpa bunga harus dipelihara terlebih dahulu hingga berbunga agar dapat diidentifikasi lebih lanjut secara akurat,” jelas Reza.

Dari hasil studi sementara, tim riset telah menemukan berbagai temuan menarik. Salah satunya temuan record baru anggrek Dendrobium cuneatum di region Papua. Peneliti BRIN, Destario Metusala menjelaskan anggrek berbunga mini berwarna kehijauan ini sebelumnya hanya ditemukan di region Sulawesi dan Maluku saja.

“Temuan spesies ini di Pulau Batanta (region Papua) akan menambah informasi terkait jangkauan distribusi alaminya yang ternyata melewati zona Wallacea dan mencapai zona biogeografi Australasia,” jelasnya.

Selain itu, hasil studi juga telah menemukan anggrek akar Taeniophyllum torricellense yang sebelumnya hanya ditemukan di dua lokasi, yaitu Pulau San Cristobal di Kepulauan Solomon dan pegunungan Torricelli di Papua Nugini.

Tim juga menemukan anggrek epifit Dendrobium incumbens yang sebelumnya hanya ter-record berasal dari dua titik lokasi di Papua Nugini, yaitu distrik Sepik dan Morobe. Lokasi-lokasi yang disebutkan tadi berjarak sangat jauh dengan Pulau Batanta di Papua Barat.

Penemuan anggrek Taeniophyllum torricellense dan Dendrobium incumbens ini akan menambah jumlah keragaman spesies anggrek untuk negara Indonesia.


Kearifan lokal
Tidak hanya melakukan inventarisasi anggrek, tim juga melakukan observasi dan perekaman berbagai upaya pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan oleh masyarakat adat setempat sebagai petunjuk awal kajian lebih lanjut terkait potensi keanekaragaman hayati di Pulau Batanta.

“Hasil observasi sementara memperlihatkan total lebih dari 100 jenis tumbuhan digunakan oleh kelompok masyarakat adat untuk berbagai keperluan, mulai dari obat-obatan, pangan lokal, pakaian, upacara tradisional, kerajinan, perlengkapan rumah, bangunan, hingga material untuk membuat perahu,” beber Reza.

Di sisi lain, Destario menambahkan berbagai sample tumbuhan yang dikumpulkan dan dicatat menggunakan nama lokal bahasa Batanta/Batta. Selanjutnya tim akan melakukan identifikasi untuk mengetahui nama ilmiahnya, sehingga akan memudahkan untuk dilakukan kajian lebih mendalam.

"Penelitian ini memiliki nilai urgensi yang tinggi, mengingat jumlah masyarakat suku Batanta yang tergolong terbatas dan umumnya mendiami kawasan selatan Pulau Batanta, tepatnya di tiga kampung yaitu Yenanas, Waiman dan Wailebet," jelas Destario.

Kearifan lokal masyarakat adat dalam memanfaatkan tumbuhan di sekitarnya perlu didokumentasikan agar pengetahuan tersebut tidak punah. Terlebih kearifan lokal tersebut umumnya lebih dikuasai oleh kelompok lanjut usia dan banyak tidak diketahui oleh kelompok generasi mudanya.

Contoh kearifan lokal masyarakat adat Batanta adalah pemanfaatan tumbuhan “wil-gelfun” (Coscinium fenestratum) yang banyak tumbuh liar di hutan dan digunakan untuk pengobatan tradisional malaria, sakit mata, gangguan pencernaan, serta badan letih.

“Tumbuhan “teliih” (Terminalia catappa) yang banyak tumbuh liar di pesisir yang digunakan untuk mengobati luka terbuka, gangguan pencernaan, hingga diare,” tutup Destario. (H-2)

BERITA TERKAIT