18 February 2022, 06:00 WIB

Terus Berinovasi Memberdayakan Tunanetra


Nunuy Nurhayati | Humaniora

MI/Andri Widiyanto
 MI/Andri Widiyanto
Petugas mengerjakan pembuatan buku audio di Yayasan Mitra Netra, Lebak Bulus, Jakarta

MENJADI tunanetra, entah sejak lahir atau ketika dewasa, tak berarti harus terpuruk dalam kesedihan. Tak berarti juga harus terus bergantung pada orang lain. Tunanetra pada dasarnya sama dengan orang-orang 'awas' yang bisa melihat dunia dengan jelas. Ketidakmampuan melihat tidak boleh menghentikan langkah mereka untuk mendapatkan pendidikan, meraih cita-cita, bekerja sesuai dengan minat, dan berkiprah di masyarakat.

Inilah yang menjadi perhatian Prof Dr Sidharta Ilyas, Nicolline Sulaiman, Roswita Singgih, Sulaiman M Sumita Kusuma, Lukman Nazir, Bambang Dasuki, dan beberapa penyandang tunanetra yang peduli dengan tunanetra saat memutuskan untuk mendirikan lembaga nirlaba Yayasan Mitra Netra pada 14 Mei 1991.

Setelah mampu bertahan lebih dari 30 tahun, Yayasan Mitra Netra berkomitmen untuk terus mendukung para tunanetra menjadi manusia yang mandiri dan bermanfaat di masyarakat.

Tujuan yayasan ialah meningkatkan kualitas dan partisipasi tunanetra di masyarakat.

"Para pendiri yang kini sudah tiada dan tinggal tersisa Pak Bambang Dasuki concern dengan para tunanetra saat itu tidak bisa bersekolah. Kalaupun bersekolah, fasilitasnya sangat minim," kata Aria Indrawati, Kepala Bagian Humas dan Ketenagakerjaan Yayasan Mitra Netra, pertengahan Januari lalu.

Yang menjadi perhatian para pendiri yayasan ialah para tunanetra mengenyam pendidikan di sekolah reguler, bukan sekolah khusus. Para pendiri Mitra Netra meyakini bahwa para tunanetra yang tak punya hambatan dengan kecerdasan sudah semestinya bersekolah di sekolah reguler. Mereka mengikuti kurikulum nasional sebagaimana anak-anak lainnya yang bukan tunanetra.

"Karena kurikulum sekolah khusus itu lebih rendah kalau dibandingkan dengan sekolah reguler. Jika bersekolah di sekolah khusus, tunanetra tersebut tidak mendapat stimulasi yang maksimal di bidang akademik," ujar Aria.

Aria berkaca pada pengalamannya sendiri. Dengan menyandang tunanetra sejak lahir, perempuan asal Semarang itu hanya bersekolah di sekolah khusus saat sekolah dasar. Begitu masuk SMP, dia melanjutkan sekolah di sekolah reguler hingga bangku perguruan tinggi.

Menurut Aria, yang dibutuhkan para tunanetra sebetulnya ialah dukungan fasilitas memadai. "Sekaligus menyiapkan mereka agar bisa bekerja masuk ke arus utama, bukan di pinggiran," ujar Aria.

Itulah yang berusaha dijembatani Mitra Netra. Sepanjang 30 tahun perjalanan, Mitra Netra sudah berinovasi menyediakan dan mengembangkan banyak program untuk tunanetra di seluruh Indonesia.

Mulai kursus komputer bicara berupa mengetik 10 jari, Microsoft Office, internet dasar, dan pemrograman komputer, hingga membangun perpustakaan yang menyediakan buku-buku aksesibel bagi tunanetra seperti buku Braille, buku audio, dan buku elektronik.

Buku-buku tersebut dapat diakses melalui situs pustaka digital mitra netra, yakni Pustaka.mitranetra.or.id.

Untuk anak tunanetra usia sekolah, Mitra Netra punya program pendampingan belajar seperti belajar matematika dan bahasa Inggris.

Di Mitra Netra juga ada kegiatan-kegiatan yang mendukung minat dan hobi tunanetra seperti kursus musik, ada English Club, klub teater, dan klub memasak. Namun, karena saat ini masih masa pandemi, sebagian kegiatan berjalan secara online, atau daring. Kegiatan yang tak bisa dijalankan secara daring untuk sementara ditiadakan.

 

Mendampingi untuk mandiri

Setelah sempat berpindah-pindah tempat, sejak 2001 Yayasan Mitra Netra punya rumah sendiri, yakni sebuah bangunan dua lantai di atas lahan seluas kurang lebih 900 meter persegi di Jalan Gunung Balong II, kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Di tempat inilah segala kegiatan dipusatkan, termasuk memproduksi buku Braille.

"Untuk membeli rumah ini, kami mendapat bantuan dari Belanda yang membiayai pembelian dan renovasinya," ujar Aria yang sudah 22 tahun bergabung dengan Yayasan Mitra Netra.

Tak bisa dimungkiri, menjadi tunanetra atau orangtua anak tunanetra tidaklah mudah. Banyak orangtua yang bingung dengan nasib anak mereka di masa depan. Tak sedikit tunanetra, terutama yang kehilangan penglihatan di usia dewasa, frustrasi dengan kondisi mereka.

Mitra Netra memberikan pendampingan kepada keluarga agar mereka bisa menerima anak tunanetra itu dengan baik. Juga layanan konseling sebagai salah satu layanan dasar agar para tunanetra dapat berdamai dengan dirinya dan memiliki harapan untuk terus bekerja dan membangun karier setelah menjadi penyandang tunanetra.

"Kami berikan harapan bagi yang putus asa bahwa tunanetra juga masih punya masa depan asal difasilitasi. Lalu kami tunjukkan bukti-buktinya. Beberapa role model yang sudah eksis di masyarakat," lanjut Aria yang sebelumnya aktif di Persatuan Tunanetra Indonesia.

Organisasi ini juga turut memberikan layanan konseling hingga orientasi lingkungan agar tunanetra bisa bergerak secara mandiri dengan aman.

Namun, sesuai dengan misi, yakni memberdayakan, Mitra Netra tak mau para tunanetra terus bergantung pada mereka. Para tunanetra didorong untuk mandiri.

"Itulah energi kami lebih banyak tercurah untuk tunantera usia SD hingga SMA. Begitu mereka sudah duduk di bangku perguruan tinggi, mereka sudah lebih mandiri, sudah bisa mengambil keputusan sendiri, punya ide dan pemikiran sendiri sehingga dukungan Mitra Netra lebih minim," pungkasnya. (N-1)

BERITA TERKAIT