PEMERINTAH sudah mengantisipasi hal ini dan menyiapkan beberapa langkah untuk menghadapinya, seperti melakukan perbaikan sarana dan prasarana fasilitas kesehatan sesuai dengan karakter varian Omikron, dan juga dengan menyediakan layanan telemedisin (aplikasi layanan kesehatan).
Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menyampaikan bahwa masyarakat harus mengetahui ciri-ciri varian Omikron agar bisa melakukan pencegahan.
Baca juga: Tingkat Keterisian Tempat Tidur untuk Pasien Covid-19 Nasional Capai 30%
Adapun Omikron memicu gejala ringan seperti flu biasa, batuk, dan demam dengan tingkat penularan yang cepat.
“Nanti kita akan melihat dalam waktu yang singkat kenaikan jumlah kasus yang cukup tinggi,” kata Menkes dilansir laman resmi Kemenkes Minggu (13/2).
Ciri-ciri selanjutnya dari varian omikron adalah tingkat perawatan di rumah sakit lebih rendah, begitupun tingkat keparahannya juga lebih rendah. Sehingga pasien yang masuk ke rumah sakit lebih sedikit daripada pasien yang melaksanakan isolasi mandiri (Isoman).
Strategi pemerintah dalam menghadapi gelombang Omikron ini sedikit berbeda dengan menghadapi gelombang Delta. Gelombang Delta memiliki tingkat keparahan tinggi sehingga pemerintah harus mempersiapkan rumah sakit dengan banyak tempat tidur. Sedangkan Omicron ini yang tinggi adalah penularannya tapi keparahannya rendah.
“Sebagian besar kasus Omikron adalah OTG atau asimtomatik atau gejala sakitnya ringan. Jadi hanya gejala pilek, batuk, atau demam yang sebenarnya bisa sembuh tanpa perlu dibawa ke rumah sakit,” sebut Menkes Budi.
Selain itu, untuk menghindari peningkatan beban pada tenaga dan fasilitas kesehatan, pemerintah mengimbau agar pasien tanpa ada gejala (asimtomatik) dapat melakukan isolasi mandiri (isoman) di rumah selama lima hari, sedangkan untuk pasien dengan gejala ringan (seperti batuk, pilek, atau demam) dapat menggunakan layanan telemedisin, ke puskesmas atau dokter terdekat.
"Mari tetap waspada, disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan, serta kurangi mobilitas yang tidak perlu," kata Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Prof. Wiku Adisasmito
Menurutnya, orang positif covid-19 tanpa gejala masih berkemampuan menularkan virus kepada orang lain. Apalagi orang orang positif tersebut tidak menjalani isolasi mandiri. Perlu diketahui juga, bahwa orang positif tanpa gejala terlihat sehat-sehat saja dan kadang beraktivitas seperti biasa.
Prof. Wiku Adisasmito mengedukasi masyarakat bahwa berdasarkan gejala klinisnya, kasus positif dapat dibagi menjadi kasus bergejala dan kasus tanpa gejala (asimptomatik).
"Hal ini berarti, orang yang tampak sehat-sehat saja, belum tentu terbebas dari infeksi covud-19," jelasnya
Hal yang paling penting adalah, terdapat kecenderungan sikap kehati-hatian yang lebih rendah pada kasus tidak bergejala daripada yang bergejala. Karena orang yang tampak sakit akan cenderung mengisolasikan dirinya. Dan yang disayangkan lagi, faktanya tidak semua kasus positif di lapangan dapat terskrining 100%.
Padahal,dalam kondisi pandemi, testing menjadi tolak ukur tunggal penentuan diagnostik sebuah penyakit. Dan kenyataannya saat ini tidak semua orang melakukan tes covid-19 karena merasa sehat-sehat saja.
Jika merujuk pada hasil penelitian, secara global jumlah kasus positif tanpa gejala lebih sedikit persentasenya daripada kasus yang bergejala. Hal ini sebagaimana temuan dari Bymbasuren dkk serta Garcia dkk di tahun 2020. Selain itu mayoritas ahli sepakat bahwa kasus dengan gejala yang jelas masih lebih infeksius/menular dibandingkan kasus tanpa gejala.
Studi lainnya menunjukkan peluang terpapar pada kontak erat kasus positif tanpa gejala akan menjadi 3 - 25% lebih rendah daripada kontak erat kasus positif yang bergejala. Hal ini disebabkan gejala seperti batuk dan bersin dapat memperbesar peluang penularan dibanding pada orang yang tidak batuk atau bersin. Walau begitu, lebih sedikit dan lebih tidak menular dibandingkan kasus bergejala.
"Jika tidak diantisipasi dengan baik maka risiko ini akan menimbulkan kenaikan kasus secara signifikan," lanjutnya.
Berdasarkan 8 studi lainnya di Tiongkok, orang tanpa gejala dapat menyumbangkan sekitar 24% dari keseluruhan penularan yang terjadi di populasi. Tantangan lainnya, bahwa teknologi saat ini belum dapat mengukur secara pasti kemampuan orang positif, termasuk OTG, untuk menulari orang lain. Bahkan dengan metode testing seperti PCR yang dapat mengukur CT Value sendiri, hanya mengukur jumlah virus dalam tubuh seseorang, bukan jumlah virus yang mampu ditularkan dari orang tersebut ke orang lainnya.
Untuk itu, dengan fakta ini, sikap paling bijak yang dapat dilakukan bersama adalah menerapkan protokol kesehatan 3M secara menyeluruh baik untuk orang sehat maupun sakit.
Strategi lain yang dapat kita lakukan dalam menanggulangi penularan yang semakin masif, termasuk mengantisipasi keberadaan kasus tanpa gejala yaitu dengan meningkatkan rasio kontak erat atau jumlah orang yang diidentifikasi sebagai suspek kasus.
Perlu dipertimbangkan juga ambang waktu yang tepat dan metode testing yang lebih akurat untuk melakukan testing sejak pertama kali terpapar untuk menjamin hasil tes yang keluar benar-benar akurat.
Kemudian melakukan surveilans aktif khususnya pada tempat-tempat yang berisiko tinggi terjadi penularan/hotspot penularan seperti rumah sakit, kantor, maupun sekolah. Serta memprioritaskan percepatan vaksinasi pada kelompok rentan seperti lansia, penderita komorbid, dan orang yang belum divaksinasi sama sekali atau dosis penuh untuk mencegah risiko kematian yang tinggi. (OL-6)