TABUNG silender akrilik bening tak berhenti ditekan di tengah kerumunan sebuah pameran. Tetesan cairan pekat pun perlahan membasahi gelas kaca di bawahnya. Sekilas warnanya menyerupai teh celup yang biasa kita minum.
Namun, itu bukan teh celup, melainkan tetesan espresso yang keluar dari alat bernama ‘aeropress’ seorang barista. Aeropress merupakan satu dari banyaknya alat pembuatan kopi manual.
Cairan itu sekilas beraroma seperti buah nangka kering. Saat mulai masuk mulut, rasa unik mulai menghinggapi siapa pun yang minum, sedikit asam dan manis namun tidak pahit.
“Berasa manis-manis di lidah ya?” tanya Ramdhani, pengunjung tenant Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan di Festival PeSoNa Kopi Agroforestry 2022, Jakarta, kemarin
Pengunjung lain spontan merasakan aneka buahbuahan, baik anggur, apel hijau, hingga jambu. Bahkan ada yang menerka kopi berjenis robusta. Namun, apa yang mereka terka rupanya salah. Kopi yang barista berikan sebagai sample cicip itu ialah seduhan kopi khas Kayong Utara, Kalimantan Barat.
Kopi yang dipanen dari dataran rendah pesisir pantai perbatasan Indonesia ini cita rasanya mulai dikenal kembali sejak dipekerkenalkan kelompok tani Cahaya Kayong Pontianak. Bukan arabika, bukan juga robusta, melainkan Liberika yang populer sejak proses penyajian kopi ini diperbaiki dari hulu ke hilir.
“Saat 2017 saya masuk dunia perkopian, kopi jenis Liberika ini kurang diminati di wilayah asalnya. Petani hanya tanam, panen, dijual dan engga mau minum sendiri. Memang tidak enak dan ternyata ada yang salah dari proses panen petaninya,” ujar Gusti Iwan Darmawan, pemilik Kopi Jago Jalanan (Kojal).
Ia menuturkan petani di wilayah Kayong Utara rupanya asal saat mengolah biji kopi liberika. Begitu panen, biji disimpan di dalam karung tanpa dibersihkan dan akhirnya tumbuh jamur. Perjuangan menghidupkan jenis kopi liberika ini pun tidak mudah.
Gusti bersama petani lainnya harus menyeberang Pontianak menuju Kayong Utara dengan jalur air menggunakan ‘klotok’ setiap sebulan sekali. Lahan hutan sosial mereka yang jauh dari rumah ini terus digarap sambil mengajak warga sekitar menikmati kopi liberika.
Karena itu, sejak 2019, liberika mulai digemari di wilayah asal dan masuk industri kedai kopi lokal setempat. Kopi Liberika ini meraih penghargaan dari Museum Rekor Indonesia untuk penjualan kopi liberika tertinggi dalam lelang kopi yang digelar Kamus Kopi Indonesia pada 2021 dengan harga Rp8 juta per kilogram. (Gana Buana/S-3)