PADA Rabu (5/1), Kompol Supriyanto telah berhasil meraih gelar Doktor dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor Departemen Kriminologi, Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP), Universitas Indonesia secara online.
Dr. Supriyanto berhasil meraih gelar doktor dengan predikat Cumlaude. Dr. Supriyanto berhasil menyelesaikan studi dalam waktu hanya 3,5 tahun dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,72.
Doktor Supriyanto berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul Determinan Kejahatan Kerah Putih: Criminaloid dan Organizational criminogenic : Elaborasi Terhadap Kasus-Kasus Kejahatan Finansial di Indonesia, di hadapan sidang akademik yang dipimpin oleh Prof. Drs. Adrianus E Meliala, PhD; Prof. Dr. Semiarto Aji; Prof. Dr. Topo Santoso; Prof. Dr. Indriyanto Seno; Prof. Dr. Marcus Priyo; Dr. Dra. Ni Made Martini; Dr. Vinita Susanti; Dr. Iqrak Sulhin.
Supriyanto mengatakan bahwa determinan pendorong pelaku kejahatan finansial tersebut di antaranya ialah faktor sosio-ekonomi yang mengacu kepada nature of industry.
Gambaran nature of industry di antaranya ialah menawarkan kemudahan, memberikan harga murah serta keuntungan yang berlimpah dalam waktu yang singkat sedangkan affinity frauds, merujuk pada eksploitasi isu agama yang dapat menarik minat karakteristik masyarakat Indonesia.
"Determinan lainnya ialah karakteristik sosio-ekonomi korban di Indonesia. Serta terdapat juga kondisi penegakan hukum dan politik yang cenderung koruptif," ucap Supriyanto.
"Sehingga dari sisi individu pelaku dan korporasi akan menjadikan kondisi tersebut sebagai jalan yang menetralisir serta 'melegitimasi' perilaku menyimpang mereka," paparnya.
Kasus First Travel (FT)
Diketahui bahwa idealnya FT memberangkatkan jamaah dengan biaya sebesar Rp 17 juta dan untuk menutup kekurangan memberangkatkan jamaah umrah promo diambil dari uang jamaah promo yang telah membayar lunas tahun berikutnya.
"Kemudian apabila FT tidak bisa memberangkatkan jamaah umrah promo dengan uang yang dibayarkan atau disetorkan ke rekening FT, maka FT menggunakan uang jamaah umrah promo yang telah dibayarkan tahun berikutnya," kata Supriyanto.
Kasus Koperasi Mitra Perkasa (MP)
Kasus bermula saat Koperasi MP menipu ribuan nasabahnya yang berinvestasi. Para korban dijanjikan keuntungan di atas 10 % terhadap para nasabah, dari mulai level anggota hingga tingkatan Leader, Gold, dan Diamond.
Setiap Leader dijanjikan keuntungan sebesar 20 persen dari investasi nasabah, namun harus berinvestasi awal sebesar Rp 500 juta– Rp 2 miliar.
Setiap modal yang disimpan akan mendapatkan keuntungan sebesar 10 % dari uang yang disetorkan dan simpanan tidak hilang dan bila jatuh tempo modal dikembalikan.
"Namun, yang terjadi para korban hanya sebagian yang diberikan keuntungan dan setelah jatuh tempo para korban tidak dapat menarik dana simpanannya," katabta.
Baik kasus FT dan Koperasi MP telah memenuhi enam aspek criminaloid yaitu pertama, tidak ditemukan karakteristik fisik dan psikologis tertentu seperti egoisme yang tinggi.
Kedua, para pelakunya telah menerapkan teknik netralisasi yaitu denial of responsibility, denial of injury, denial of victim, condemn the condemners, appeal to higher loyalties, dan denial of responsibility.
Ketiga, pengendalian diri yang rendah dan rasionalisasi yang tinggi terhadap kejahatan sehingga memberikan keyakinan dalam melakukan kejahatan.
Keempat, pengakuan palsu atas sosok yang terpengaruh budaya hedonisme dan alternative hedonism.
Kelima, rendahnya sensitivitas moral dan kecerdasan, dalam hal ini berkaitan dengan moral force yang terkait dengan attachment; involvement, commitment, dan belief.
Keena, status sosial dan budaya yang sifatnya overconfidence and over-appreciation for self- authority.
"Peneliti telah membuktikan bahwa criminaloid telah berkontribusi dalam kejahatan korporasi, khusus pada kejahatan finansial penggelapan," jelas Supriyato.
"Dinamika dalam criminaloid d iantaranya ketiadaan karakteristik fisik dan psikologis, keraguan dalam bertindak, mudahnya memberikan pengakuan, sensitivitas moral; kecerdasan dan status sosial serta budaya," katanya.
Terkait hal tersebut pun, sebagai peneliti, Supriyanto mengtakan dirinya telah menemukan bahwa konteks pekerjaan atau profesi yang digunakan merujuk pada pelanggaran yang terjadi selama kegiatan kerja berlangsung dan berkaitan dengan pekerjaan.
"Maka dari itu, kejahatan tersebut dilakukan dengan menciptakan dan memanfaatkan kesempatan melalui legitimasi pekerjaan," paparnya.
Menurut Supriyanto, kondisi ini yang mendorong dinamika organizational criminogenic dalam kejahatan korporasi tumbuh subur dan sulit diterka.
"Dinamika dalam organizational criminogenic antara lain adalah orientasi profit, keberlangsungan bisnis, pencapaian target, loyalitas kelompok, persepsi bisnis, dan distribusi tanggung jawab pimpinan korporasi," katanya.
Lebih jauh, peneliti menemukan bahwa fokus dalam organizational criminogenic adalah celah dalam proses korporasi, aspek pengawasan, yang bertemu dengan dorongan motivasi keuntungan pribadi. (RO/OL-09)