10 December 2021, 09:50 WIB

Kami tidak Ingin Ada Korban Lagi


Soelistijono | Humaniora

MI/ Soelistijono
 MI/ Soelistijono
TESTIMONI: Ali Fauzi (kanan), mantan napiter dengan perasaan sedih mendengarkan kisah-kisah pilu para penyintas terorisme. 

TERORISME masih menjadi ancaman di Indonesia. Berceritalah Nyoman Rencini, isteri Ketut Sumawat yang meninggal dunia akibat peristiwa Bom Bali I pada 2002 silam. Nyoman hingga kini harus menghidupi tiga anaknya tanpa suami.

Menjadi binatu usaha rumahan milik tetangganya, hingga berjualan kopi di warung sederhananya ia lakoni di tengah derita hidup sebagai seorang ibu sekaligus berperan sebagai ayah di keluarga kecilnya itu.

Kisah haru juga dituturkan oleh Nugroho Agung Laksono. Lelaki kelahiran Jakarta yang sejak kelas 4 SD ingin membantu meringankan beban ekonomi ibunya itu harus menghadapi kenyataan hidup yang keras di Ibukota dan sulit ia lupakan.

Peristiwa Bom Kampung Melayu di Jakarta pada 2017 telah mengubah perjalanan hidupnya. Kakinya harus dioperasi besar di RS Polri akibat terkena pecahan bom rakitan yang diledakan oleh teroris. Kini Agung menjalani hari-harinya sebagai sopir angkot. "Aku masih tetap ingin membantu ibu. Keluarga saya ekonominya pas-pasan," katanya lirih.

Begitu juga yang dialami Sudirman Abdul Talib. Ia masih ingat, bom dahsyat yang meledak di Kedutaan Besar Australia di Kuningan, Jakarta pada 9 September 2004 itu telah mengakibatkan jemari tangannya tidak normal lagi. Satu matanya di sebelah kiri masih bermasalah.

Pemuda asal Bima, Nusa Tenggara Barat ini mengaku sempat putus asa menjalani hidupnya. Namun berkat dukungan moril dan rasa empati dari masyarakat serta aktivis perdamaian kini Agung bisa menyelesaikan studi S1 jurusan bahasa Inggris yang ia cita-citakan sejak merantau dan menginjakan kakinya di Jakarta 18 tahun silam.

Itulah sekelumit kisah tiga penyintas akibat aksi terorisme yang beruntun terjadi di Tanah Air. Diinisiasi oleh AIDA (Aliansi Indonesia Damai) mereka mengisahkan pengalaman pilunya itu di serambi tenda Hotel Sari Pacific, Jakarta, Kamis (9/12).
Setelah mendengar kisah-kisah yang menyentuh rasa kemanusiaan itu, seketia Ali Fauzi bangkit dari tempat duduknya menghampiri ketiganya dan memberikan salam empati. Mata Ali Fauzi tampak sembab.

"Bila mendengar cerita-cerita para penyintas perasaan saya bergolak, tak tahan menahan haru," ujarnya. Ali Fauzi sendiri dulu adalah mantan teroris dan pentolan Jamaah Islamiah (JI). Dia ahli perakit bom dengan jabatan instruktur perakitan bom di organisasi JI.

Namun, adik Amrozi pelaku Bom Bali 1 itu  telah insyaf dan bahkan bertekad mengabdikan hidupnya untuk melakukan gerakan deradikalisasi kepada mantan teroris agar menjalani hidup yang benar. Sekarang, sebanyak 112 mantan teroris dia bina dan dicarikan jalan untuk berkegiatan ekonomi melalui Yayasan Lingkar Perdamaian di kampung halamannya Desa Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur.

Cukup panjang kisah mantan narapidana terorisme (napiter) ini sampai ia menyempal dari jaringan teroris JI. Ali Fauzi mengatakan merasa berdosa ketika melihat dengan mata kepala sendiri bahwa bom-bom yang diledakan oleh para teroris itu  membunuh banyak orang yang tak berdosa dan sekaligus menyengsarakan keluarga mereka. Perasaan berdosa itu terus menggelayutinya hingga sekarang.

Aksi terorisme merujuk pada pengalaman yang ia pahami tidak akan hilang. Apalagi para teroris itu dengan lihai membungkusnya dengan keyakinan agama. Untuk itu Ali Fauzi mengimbau kepada seluruh masyarakat agar tetap waspada dan berani serta terus bergandengan tangan dalam memerangi aksi-aksi destruktif itu.(Soelistijono/H-3)

BERITA TERKAIT