26 October 2021, 00:14 WIB

Dampak Pandemi bagi Penyair Joko Pinurbo dan Inggit Putria Marga


Kevino Dwi Velrahga | Humaniora

Youtube/MediaIndonesia
 Youtube/MediaIndonesia
Nunggu Sunset Media Indonesia bertajuk Puisi Sebagai Suara Demokrasi dan Kemanusiaan di Era Kini

PUISI di Indonesia saat ini semakin bervariasi dan semakin banyak ragamnya. Isi puisi sendiri bergantung dari kondisi dari sang penyair yang membuatnya. Ketika pandemi Covid-19  hadir dan merubah segala aktivitas manusia, puisi turut mengalami perkembangan serta dapat pula menjadi medium untuk merekam momen tersebut.

“Pandemi memberi saya waktu untuk lebih banyak melakukan kontemplasi terhadap berbagai persoalan hidup. Saat situasi normal perkara tersebut tidak terlihat karena kita dijerat oleh rutinitas yang ada,” ujar penyair senior Joko Pinurbo atau yang akrab disapa Jokpin dalam acara Nunggu Sunset Media Indonesia, Senin (25/10).

Baca juga: Pekan Kebudayaan Nasional 2021 Dibuka

Di masa pandemi, Jokpin bercerita bahwa ia mendapat banyak ide baru yang bisa ia angkat menjadi puisi. Salah satu ide yang ia temukan adalah hubungan antara negara dan kematian melalui ambulans. 

Pasalnya, ambulans pada masa normal merupakan hal yang biasa saja ketika lalu lalang di jalan. Namun, berbeda ketika saat pandemi seperti sekarang, ambulans menjadi simbol dari kegagalan sistem kesehatan yang ada di Indonesia dalam menangani pandemi Covid-19.

“Di masa pandemi, ambulans menjadi ikon yang sangat mengusik karena melalui ambulans itu saya bisa melihat banyak kematian terjadi bukan akibat takdir, tetapi dampak dari sistem yang tidak berjalan dengan baik. Orang meninggal karena tidak mendapat kamar di rumah sakit, kehabisan oksigen, dan lainnya,” terangnya.

Jokpin turut berkata jikalau sebuah puisi ingin dapat terus relevan, maka ia harus selaras dengan realitas yang terjadi di masyarakat. Puisi harus bisa membuka ruang bagi para pembacanya untuk merenungkan keadaan sekitar.

Pandemi dialami berbeda oleh penyair perempuan Inggit Putria Marga. Dalam acara yang sama, ia mengakui kondisi pandemi justru menyulitkannya dalam berkarya karena banyaknya distraksi di dalam rumahnya.

“Dengan berlakunya work from home, school from home, dan lain-lain from home itu membuat aku yang biasa menulis dengan tenang di rumah, memiliki waktu yang panjang di rumah, menjadi berubah semua. Menulis menjadi terburu-buru seperti dikejar-kejar sesuatu karena bising di mana-mana,” curhat Inggit ketika ditanya perihal perubahan yang ia hadapi saat pandemi.

Lebih lanjut, Inggit menjelaskan, bahwa sejatinya puisi itu berfungsi untuk melawan dunia yang penuh ujaran tapi minim tindakan. Puisi dapat mengatakan sesuatu tanpa harus mengatakannya, membuat orang-orang berimajinasi atas dunia rekaan yang dibuat di dalamnya. 

Hal itu berbeda dengan yang terjadi di kenyataan. Ia mencontohkan dengan slogan yang pemerintah buat seperti “Mari kita berempati dengan korban Covid-19”, namun kenyataannya bentuk konkret yang muncul malah bantuan sosial untuk masyarakat dikorupsi.

“Penyair yang dalam puisinya sudah terlalu banyak jargon, sudah terlalu banyak kata sifat, terlalu verbal menyampaikan pikirannya, menurutku dia sudah mengingkari sifat puisi itu sendiri. Dan pada saat itu juga dia sudah tidak relevan lagi,” jelas Inggit

Karya dua penyair tersebut nantinya akan dilelang dalam acara Indonesia Sejati: Festival Bahasa dan Sastra. Acara ini digelar Media Indonesia pada 29 Oktober 2021 mendatang sebagai momentum untuk memperingati bulan Bahasa serta Sumpah Pemuda. (OL-6)

 

BERITA TERKAIT