Ada batas jelas antara memanusiakan manusia dan mensatwakan satwa. Bukan berarti manusia bisa diduduksetarakan dengan satwa, melainkan menempatkan masing-masing sesuai kodrati. Begitu pula dengan terminologi memanusiakan satwa atau mensatwakan manusia, sama sekali tidak elok.
Bagi para aktivis konservasi, menghargai satwa liar berarti menempatkan mereka di alam lepas, bukan di pekarangan. Apalagi di kandang. Sebab yang terjadi adalah pemaksaan satwa untuk keluar dari kodrat mereka.
Baca juga: Garuda Pancasila: Elang Rajawali atau Elang Jawa?
Di Pusat Suaka Satwa Elang Jawa (PSSEJ) Loji Bogor di Taman Nasional Gunung Halimun–Salak (TNHGS), elang dilatih untuk kembali berperilaku layaknya satwa liar.
Sebelum dilepasliarkan, elang harus dipastikan telah berperilaku layaknya raptor. Dokter hewan di PSSEJ Septi Dewi Cahaya bercerita tentang permasalahan elang yang datang ke PSSEJ. Tidak semua dalam kondisi sehat. Sebab itu Setiap elang wajib melalui proses observasi terlebih dahulu. Hal itu untuk mengidentifikasi perilaku dan kondisi fisik slang.
"Kalau yang sering datang ke sini kebanyakan trauma fisik. Misalnya kayak bekas tembakan. Kebanyakan juga penyakit virus, bakteri, jamur, parasit," ungkap Septi.
Baca juga: Pelepasliaran Satwa akan Lebih Diintensifkan
Sehingga, pemeriksaan kesehatan rutin juga terus dilakukan. Secara keseluruhan, pekerjaan terberat adalah memulihkan perilaku alami elang. "Kebanyakan serahan masyarakat yang peliharaan, jadi kondisinya masih bagus-bagus. Cuma perilakunya saja yang perlu kami rehabilitasi," tambah Septi.
Proses observasi perilaku juga patut dilakukan, sebab tidak ada kepastian bagaimana elang itu diperlakukan oleh pemilik sebelumnya. Perawat satwa PSSEJ (raptor keeper) Deden. bercerita susahnya proses pemulihan perilaku elang akibat salah perlakuan dari pemilik sebelumnya. Ia pernah mendapati elang yang dipakani sayuran.
“Terkadang ada juga yang misalkan datang ke sini dikasih ini, katanya. Padahal di luaran sana dikasih apa. Ada juga kabar ada yang dikasih sayuran. Jadi kita susahnya untuk mengembalikan pakan dia,” ujar Deden.
Baca juga: KLHK Kembalikan Orangutan Terjebak ke Habitat Asli
Bayangkan elang yang termasuk satwa raptor atau pemburu, dipaksa makan sayuran. Sehingga Deden perlu upaya lebih untuk mengembalikan perilaku konsumsi si elang. Proses itu memakan waktu 2 minggu-1 bulan.
“Kita pertamanya, misalkan dari serahan masyarakat masuk ke kandang karantina. Kita coba dulu kasih pakan hidup. Kita amati satu hari, dimakan apa tidak? Kalau tidak dimakan, pakannya kita cincang. Kita suapin sampai dia kenal jenis makanannya,” ujar Deden.
Setelah pola makan dipulihkan, elang akan dilatih untuk kembali ke perilaku alaminya. Elang seharusnya tinggal dan bertengger di pohon tinggi menjulang, agar mudah mengincar mangsa. Ada kasus elang di PSSEJ yang justru bertingkah layak ayam yang senang berada di atas tanah. Padahal, elang jelas bukan ayam.
Baca juga: Lumba-Lumba Hidung Panjang yang Terjebak di Empang Dievakuasi
Untuk rehabilitasi, elang ditempatkan di kandang pelatihan yang didesain semirip mungkin dengan alam liar. Kandang pelatihan sengaja didesain tinggi-besar dan tidak dibersihkan. Sehingga kondisi kandang mirip hutan, ada semak, dedaunan-ranting alami, dan kontur tanah yang tidak rata.
Elang dilatih untuk berburu mencit dan marmut hidup. Itu akan membuat elang serasa berada dalam habitat alami dan mempercepat proses rehabilitasi.
Perawatan serupa juga dikenakan terhadap elang jawa yang menjalani rehabilitasi. Elang jawa yang menjadi inspirasi dari lambang negara Garuda jangan sampai menjadi perkutut, apalagi ayam.(X-15)