SUATU ketika keluarga pembatik Yogyakarta, Haryono resah akan keberlangsungan batikbatik kuno yang nyaris habis karena diburu kolektor asing. Dari situlah, ide mendirikan Museum Ullen Sentalu bermula.
Nama itu diambil dari filosofi Jawa berbunyi ulating blencong sejatine tataraning lumaku yang artinya nyala lampu blencong penuntun hidup manusia. Lampu blencong merupakan lampu minyak yang digunakan sebagai penerang dalam pertunjukan wayang kulit.
Selain dilatarbelakangi tujuan menyelamatkan batik, berdirinya museum swasta di bawah naungan Yayasan Ulating Blencong ini juga dilatarbelakangi cita-cita mereka dalam upaya melestarikan peradaban seni dan budaya Jawa. Sebagian besar koleksinya memang menceritakan sejarah Kerajaan Mataram.
“Museum ini didirikan keluarga Haryono yang mewarisi kebudayaan Jawa secara turun-temurun. Kami didukung juga dari kerabat Dinasti Gajah Mataram yang ada di Yogya dan Solo. Kerabat tersebut memberikan hibah koleksi pribadinya. Ini bukan koleksi dari keraton. Tapi hibah dari para bangsawan ada dari Keraton Yogyakarta seperti Istana Pakualaman, Keraton Surakarta, juga ada putri dari Istana Mangkunegara,” beber humas Museum Ullen Sentalu Isti Yunaida, pekan lalu.
Berbagai benda cagar budaya yang dihibahkan kepada Museum Ullen Sentalu di antaranya tulisan dan lukisan Putri dari Kadipaten Mangkunegaran, yakni Gusti Nurul.
“Selain itu, ada juga koleksi batik peninggalan, karya intelektual berupa syair, tulisan, yang menandakan bahwa tingkat keintelektualan dari kerabat kerajaan pada masa itu sangat tinggi,” bebernya.
Di temp at ini, para pengunjung akan disuguhi dengan indahnya pemandangan hutan alami dan taman dengan udara segar pegunungan sebagai bonusnya. Karena sifat cagar budaya berbentuk tak benda merupakan satu hal yang rentan punah dan perlu dilestarikan, Ullen Sentalu akan mengantarkan pengunjungnya untuk menyelisik budaya Jawa lewat tuturan lisan yang disampaikan pemandu.
Kurator Jonathan Haryono mengatakan, kisah di museum ini tidak banyak di teks sejarah literatur, karenanya mereka menggali sendiri dari para pelaku. “Satu koleksi enggak cukup dengan membaca teks sehingga pengunjung akan mendapatkan cerita yang terus berkembang pada setiap kunjungannya,” tandasnya. (Atalya Puspa/H-2)