04 January 2021, 02:05 WIB

Dari Pelajar STOVIA untuk Indonesia


MI | Humaniora

Sumber: Muskitnas/Tim Riset MI-NRC
 Sumber: Muskitnas/Tim Riset MI-NRC
 

GEDUNG School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau Dokter Djawa School dirancang dan dibangun oleh tentara Zeni Angkatan Darat Hindia Belanda pada 1899 silam. Bangunan bergaya arsitektur neo-renaissance ini difungsikan sebagai sekolah pendidikan kedokteran bagi pribumi.

Sejarawan sekaligus pendiri Komunitas Historia Indonesia (KHI) Asep Kambali mengatakan, mereka yang belajar di STOVIA bukanlah orang sembarangan, melainkan anak petinggi seperti anak camat, anak bupati, dan anak pejabat lainnya.

Meski berasal dari kalangan terpandang dan kelas masyarakat tertinggi, tutur Asep, mereka juga gigih memperjuangkan anak-anak yang tidak mampu bersekolah.

“Karena mereka kuliah, mereka dapat ilmu dan baru sadar bahwa bangsa sedang dijajah. Para pelajar akhirnya mengumpulkan uang untuk menyekolahkan anak tidak mampu,” kata Asep.

Begitulah, pada 20 Mei 1908, Gedung STOVIA menjadi saksi terbentuknya Organisasi Budi Oetomo yang didirikan R Soetomo dan kawan-kawan. Mereka terinspirasi oleh pemikiran dr Wahidin Soedirohoesodo untuk membantu anak-anak Jawa bersekolah.

Tidak berhenti di situ, keberadaan Budi Oetomo memantik salah satu tokoh pemuda saat itu, Mas Satiman Wirjosandjojo untuk mendirikan organisasi pemuda pertama bernama Bumiputera Tri Koro Darmo pada 1915 yang berubah menjadi Jong Java pada 1917.

Atas dedikasi, keberanian, dan perlawanan para pelajar STOVIA itulah, pada 1983 gedung yang bersejarah itu ditetapkan sebagai cagar budaya yang dilindungi. Setahun kemudian, gedung tersebut difungsikan sebagai Museum Kebangkitan Nasional.

Dari peristiwa sejarah ini, kata Asep, kita belajar bahwa pemuda dan pendidikan merupakan syarat bangkitnya sebuah bangsa. “Kalau mau bangkit, harus terdidik dulu. Anak-anak harus kuliah dulu baru bangkit,” pungkasnya. (Suryani Wandari Putri Pertiwi/H-2)

BERITA TERKAIT