MAURIL, demikian Maurilla Sophianti Imron kerap disapa, memiliki latar belakang yang cukup menjual di industri fesyen. Pengalamannya bekerja untuk merek-merek fesyen ternama seperti Tommy Hilfinger, Calvin Klein, hingga Toms selama 5 tahun dan latar belakang pendidikannya di Inholland University of Applied Sciences untuk jurusan administrasi bisnis, tidak dapat dipandang sebelah mata.
Tapi, siapa sangka ia malah melalui fase metamorfosis yang membawanya melalui jalan hidup yang jauh berbeda saat ini, yakni menjadi pegiat gaya hidup ramah lingkungan. "Kembali ke hati sih kayaknya, pada saat kita kerja apalagi kantoran, kita habiskan waktu di sana. Ketika kita mulai bertanya-tanya, apa yang saya lakukan di sini, untuk siapa? lalu kita tidak ketemu jawabannya, di situ kita merasa perlu untuk melakukan hal lain yang lebih berarti," ucap Mauril dalam wawancara khususnya kepada Media Indonesia di Denpasar, Jumat pekan lalu.
Fakta bahwa industri fesyen merupakan penyumbang kedua terbesar polusi karbon setelah industri minyak dan gas, yakni sekitar 10% dari total polusi yang dihasilkan tiap tahunnya, membuatnya gelisah. "Fun fact-nya, industri aviasi saja cuma 2%, itu kan berarti lima kali lipatnya," imbuh Mauril.
Ditambah lagi, merek fesyen besar skala internasional sekalipun saat ini masih setia mengusung mazhab 'fast fashion' demi mendongkrak penjualan. Tiap musim, mereka bisa mengeluarkan lebih dari 50 koleksi yang akan dipasarkan secara masif tanpa betul-betul mempertimbangkan aspek keberlanjutan dari produk-produk tersebut.
Tentu saja baju-baju tidak terpakai yang tidak terkelola dengan baik itu pada akhirnya akan berakhir di pembuangan akhir menjadi bagian dari limbah rumah tangga. Padahal, limbah yang dihasilkan dari proses pembuatannya saja sudah sangat banyak.
"Kurang memperhatikan faktor etik, padahal semua itu pasti ada akhirnya. Pertanyaannya sekarang, di mana dia akan berakhir? Apakah di TPA yang belum tentu terurai dengan baik?" ujarnya retoris.
Padahal, beberapa produk fesyen terbuat dari bahan-bahan yang sulit terurai, sebut saja poliester yang pada dasarnya memiliki kandungan pelastik. Tanpa siklus daur ulang yang jelas, baginya memproduksi masif pakaian yang belum tentu akan optimal terpakai merupakan tindakan yang kurang bertanggung jawab. Di sisi lain, industri fesyen memerlukan perilaku konsumen yang hedonis untuk membuat pundi-pundi mereka gemuk dan menghidupi pelaku industrinya.
Terusik sampah
Mauril sadar betul, tanpa diimbangi dengan kesadaran masyarakat yang baik terhadap apa yang dibeli dan dipakainya, pola konsumsi seperti ini akan membahayakan alam dan biota laut. "Aku enggak mau anakku nanti enggak bisa melihat, mengalami laut seperti yang aku liat dan alami sekarang. Indah, isinya terumbu karang dan ikan. Masa kita harus tunggu laut isinya sampah semua baru bisa sadar?"
Kegelisahan ini kian menjadi manakala ia membaca tentang produksi sampah Indonesia yang menempati urutan kedua tertinggi di dunia. Ia juga mencermati bahwa tidak seperti Belanda, tempat ia tinggal saat itu, Indonesia memiliki regulasi sampah yang jauh dari sempurna sehingga tidak mungkin mengandalkan pemerintah semata untuk menyelesaikan persoalan sampah di Indonesia. Hal inilah yang menjadi gong awal mula zerowaste.id didirikan.
"Aku sengaja memang mencari basis massanya di Indonesia meskipun saat itu aku tinggal di Belanda. Memang cita-citaku untuk kembali ke Indonesia suatu hari nanti. Aku melihat peluang untuk berperan di Indonesia dengan menggagas zerowaste ini. Aku melihat juga bahwa di Indonesia ini memang harus dari grass root, enggak bisa kalau hanya mengandalkan pemerintah," jelas Mauril.
Ia memulai gerakannya lewat akun Instagram @zerowaste.id_official yang kini sudah memiliki 87 ribu pengikut. Namun saat itu, menjalani gaya hidup ramah lingkungan tidak semudah sekarang di mana sedotan dan kantung ramah lingkungan banyak dipasarkan dan informasi pemilahan sampah lebih mudah didapatkan.
Mauril memulai semuanya dari nol, yakni dengan mengumpulkan UMKM yang bersedia menjadi produsen alternatif ramah lingkungan, menyediakan informasi tempat daur ulang, hingga menyosialisasikan ke berbagai lapisan masyarakat. Beruntung saat ini akses internet di Indonesia sudah cukup baik, sehingga Ia bisa memanfaatkan akses sosial media untuk memperluas jaringan zerowaste.
Mauril tidak bermimpi muluk, sebab ia sadar mengubah gaya hidup bukanlah hal yang mudah dan memerlukan proses panjang. Sering kali, proses itu juga berbenturan dengan kebiasaan hidup dan budaya. Salah satu contohnya ialah ketika dia coba memperkenalkan menstrual cup sebagai alternatif yang jauh lebih ramah lingkungan ketimbang pembalut sekali pakai. Tentu saja ada resistensi dari perempuan yang takut kehilangan keperawanannya jika menggunakan cawan datang bulan itu.
"Biasanya kita sodorkan fakta dan data, harus siap juga. Supaya pelan-pelan masyarakat diajak berpikir, menata ulang nilainya, worth it nggak sih kalau dibanding dampaknya buat lingkungan? Kan seperti itu," jelas perempuan kelahiran tahun 1991 itu.
Mengubah gaya hidup memang tidak bisa terburu-buru apalagi dipaksakan. Ia mengaku tantangannya ialah bagaimana menyampaikan alternatif ramah lingkungan tanpa menggurui atau memaksa, sehingga masyarakat yang sadar dengan sukarela beralih karena betul-betul paham dan ingin merasakan manfaatnya, namun tetap menjaga alam. (M-4)