SELAIN sebagai podcaster, Adri juga dikenal sebagai pelawak tunggal dan pemain film. Ia bermain di sejumlah film produksi Visinema, selain juga bertanggung jawab untuk konten-konten di luar produksi layar lebar. Adri bermain di film Love for Sale (1&2), Briedzilla.
Sementara itu, untuk lawak tunggal, ia memulainya sejak 2011. Sebelumnya, ia bekerja sebagai copywriter dan creative director di agensi, selama 2005-2012.
"Tahun 2012 gue resign, lalu punya acara di tv dan radio. Di tv cuma setahun, sedangkan radio sampai 2014. Setelah itu gue balik lagi ke agensi sampai 2016. Baru setelah itu gue di Visinema, dan di Majelis Lucu Indonesia sejak 2018," jelasnya saat berbincang dengan Media Indonesia, di Jakarta, (18/9).
Dari semua yang ia lakukan menggunakan saluran berbagai media, itu ditujukan sebagai upaya membawa penonton ke pentas stand up comedy-nya.
"Karena gue pengen punya medium yang bisa menarik orang ke acara gue. Sebenarnya gue enggak suka main film, tapi karena bisa menarik orang, ya gue lakukan. Podcast terbukti bisa, dan bisa membawa orang lebih banyak ke show gue bila dibandingkan film. Gue belum pernah main film yang sale tiketnya sejuta. Love For Sale, 300 ribuan, itu bisa di-achieve siaran berapa kali udah nyampe."
Biasanya, Adri merekam siniarnya pada tiap Sabtu atau Minggu hanya bermodal dengan selulernya. Saat ia di mobil, atau di rumah. Topik-topik yang dibicarakan, berupa dari hal-hal yang ia temui selama sepekan termasuk bersumber dari buku yang ia baca, untuk kemudian ia catat. Ke depan, ia punya mimpi untuk bisa membawa Podcast Awal Minggu menjadi pertunjukan langsung dengan tiket berbayar.
"Bisa lakukan podcast live di studio atau teater dengan selling tiket. Bisa kayak my next guest-nya Netflix, gue ingin mencoba itu. Ini gue enggak tahu kapan bisa direalisasikan. Talkshow live berbayar, tapi siapa yang mau bayar? Haha.. Mata Najwa aja enggak bisa undang penonton asli, nah apa lagi gue? Tiga orang teratas yang jadi patokan gue itu Maman Suherman, Deddy Corbuzier, dan Najwa Shihab, bisa enggak mereka keluar roadshow dan penontonnya bayar?"
Stand up comedy bagi Adri merupakan penyelamat. Ia menganggap, bila tidak berada di dunia lawak tunggal, bisa 'gila.' Selain ia juga mempertimbangkan bahwa lawak tunggal, seperti podcast, menjadi medium dengan biaya produksi yang kecil. "Ketika gue concern terhadap sesuatu, bisa gue sampaikan tanpa harus investasi produksi dengan biaya yang gede seperti misalkan membuat film."
"Karena size gue juga enggak sebesar Raditya Dika, gue masih di medium di mana gue masih bisa ngomongin apa aja. Nge-push batas ketersinggungan lo ada di mana," jelasnya.
Yang unik, Adri beranggapan bahwa siaran televisi konvensional ialah musuh terbesarnya. "Karena gue enggak percaya kita masih sepolos itu. Gue percaya banget kita itu sudah lebih kompleks. Najwa aja sekarang udah dibilang berat banget. Justru menurut gue ya seperti itu seharusnya standardisasinya, dan harusnya bisa dikonsumsi semua orang." (Jek/M-2)